Menjelang akhir Januari 2019 yang luar biasa sebab banyak berita nan menghebohkan, Saya berkesempatan untuk melakukan perjalanan  selama tiga hari ke Kota Batu, Jawa Timur. Ini adalah untuk ke lima kalinya saya ke Kota Batu,  setelah empat perjalanan sebelumnya di tahun 2018.
Sebenarnya tidak ada yang istimewa dalam perjalanan ini, sama saja dengan kunjungan sebelum-sebelumnya dilakukan dengan mengunakan moda transportasi pesawat terbang. Soalnya mau pakai bis, belum ada jalur tol yang menghubungkan Banjarmasin-Batu, lagian juga kalaupun ada pastilah memakan waktu lebih lama.
Acara inti dari kunjungan saya ini sebenarnya cuman satu hari, namun karena tempat kegiatan di Kota Batu maka diperlukan satu hari perjalanan pergi dan satu hari perjalanan pulang, sehinga total perlu tiga hari untuk acara  tersebut.
Oke, kembali ke topik awal, perjalanan kali ini terhitung istimewa sebab dilaksanakan ditengah suasana dimana  harga tiket pesawat yang sedang tinggi (katanya sih turun sedikit, setelah sebelumnya naik banyak), juga karena berlakunya kebijakan bagasi berbayar yang diterapkan oleh maskapai-maskapai operator penerbangan murah (masih kah?) di Indonesia.
Sebuah kebijakan yang sangat terasa efeknya bagi masyarakat Indonesia seperti saya yang kalau bepergian ke luar pulau harus membawa banyak bawaan, meski sudah melalui tahap seleksi ketat, dan adanya kewajiban moral untuk membawa oleh-oleh buat sanak keluarga, sehingga jauh-jauh hari, istri saya berucap "kalau nanti berangkat, nggak usah berfikir tentang oleh-oleh", sempat saya berfikir koq jadi mirip lagunya Bunda Rita Sugiarto :P
Setelah searching wal googling tentang tarif bagasi untuk jurusan Banjarmasin-Surabaya dan menemukan beberapa berita yang lumayan membuat jeri tentang penumpang yang harus mendapat tagihan dua setengah juta atas berat bagasi yang dibawa serta mengingat berat koper saya yang ukuran medium ketika di isi full dalam penerbangan sebelumnya, akhirnya saya memutuskan untuk menggunakan koper kecil dengan isi yang sudah diseleksi ketat plus satu ransel berisi laptop dengan pertimbangan kalaupun nanti harus masuk bagasi ya tidak harus merogoh kocek terlalu dalam, cukup sekitar tujuh puluh lima rebu lah.
Meski sudah mempersiapkan diri dengan kemungkinan harus bayar bagasi, saya tetap berikhtiar supaya koper yang saya bawa bisa masuk dalam kabin tanpa harus keluar biaya tambahan. Sedikit kejadian yang agak membingungkan sekaligus menguntungkan terjadi di counter  untuk lapor check in .
Salah satu petugas meminta agar koper saya ditimbang dengan alasan saya membawa tas dua buah, dan hanya salah satu yang boleh dibawa ke dalam kabin. Setelah ditimbang, ternyata koper saya beratnya sekitar enam kilogram dan saya diminta untuk membayar biaya bagasi.
 Ketika saya menanyakan berapa jumlah yang harus saya bayar, petugas tersebut malah menjelaskan tentang alasan dan aturan kenapa harus bayar (mungkin dikira nya saya belum paham tentang aturan tersebut), disaat itulah petugas lainnya (tampak lebih senior) berkata agar koper saya bisa saja masuk kabin tanpa harus bayar bagasi. Mendengar hal tersebut, tanpa buang waktu saya langsung meningggalkan counter check in dan menuju ruang tunggu, sekilas saya melihat kedua petugas tersebut sedikit berdebat soal pendapat mereka tentang bagasi. Tak apalah itu urusan mereka, yang penting  bisa bernafas lega menikmati perjalanan tanpa harus melukai dompet saya.
Kebijakan bagasi berbayar, apapun itu alasannya tentulah bermuara pada terbentuknya sumber pemasukan baru bagi maskapai, dan tentunya berpangaruh terhadap kegiatan penerbangan. Ada beberapa hal yang menurut saya menjadi efek dari kebijakan tersebut, yaitu :
Yang pertama, proses loading barang bagasi kedalam pesawat menjadi lebih singkat, karena para penumpang memilih untuk mengurangi barang bawaan. Yang kedua, proses penumpang masuk dan keluar dari dalam lambung pesawat menjadi lebih lama karena harus memasukkan dan mengeluarkan barang bawaannya (yang kadang lebih dari dua item) dari cabin pesawat.