Mohon tunggu...
Khulfi M Khalwani
Khulfi M Khalwani Mohon Tunggu... Freelancer - Care and Respect ^^

Backpacker dan penggiat wisata alam bebas... Orang yang mencintai hutan dan masyarakatnya... Pemerhati lingkungan hidup... Suporter Timnas Indonesia... ^^

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Wahai para Perencana, Masih Perlukah Program 100 Hari Kerja ?

16 Desember 2024   10:01 Diperbarui: 16 Desember 2024   10:01 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Catur Cepat (Dokpri)

Indonesia telah mengenal Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), yaitu kerangka kerja terorganisir yang mengatur proses penyusunan, pelaksanaan, pengendalian, dan evaluasi pembangunan di Indonesia yang diatur melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Jelas dituliskan bahwa sistem perencanaan ini bertujuan untuk mewujudkan pembangunan yang berkesinambungan, merata, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Masa kerja Presiden ataupun Kepala Daerah yang mencapai 5 tahun saja atau 1826 hari kerja kadang masih dirasa kurang untuk mecapai realitas kinerja yang berdampak bagi masyarakat. Maka sudah tentu program 100 Hari Kerja kadang tidak representatif untuk jangka panjang.

Dibanding 1826 hari kerja, maka seratus hari adalah waktu yang terlalu singkat untuk menilai keberhasilan pemerintahan, terutama pada program yang membutuhkan waktu panjang seperti reformasi pendidikan, pembangunan infrastruktur, atau pengentasan kemiskinan. Fokus pada hasil cepat dikhawatirkan justru dapat mengabaikan dampak jangka panjang.

Ibarat menanam pohon, saat paling optimal untuk merasakan manfaat kayu dan jasa lingkungan lainnya adalah setelah minimal umur pohon 5 tahun. 

Perlu disadari bahwa kompleksitas isu pembangunan menuju Indonesia Emas 2045 bersifat kompleks dan multidimensi, sehingga memerlukan pendekatan yang lebih mendalam daripada sekadar program jangka pendek.

Hal lain yang dikhawatirkan ialah, program 100 hari bisa bersifat seremonial atau pencitraan tanpa dampak yang signifikan bagi masyarakat. Hal ini justru bisa memunculkan skeptisisme publik. Pemaksaan untuk mencapai target dalam 100 hari dikhawatirkan memicu keputusan yang terburu-buru, kurang matang, atau tidak berdasar pada data yang komprehensif.

Di era yang serba digital saat ini, tampaknya Program 100 hari kerja sudah tidak relevan lagi, karena dengan kemajuan teknologi dan media sosial, bahkan selama 5 tahun kedepan publik akan tetap bisa memantau kinerja pemerintah secara real time.

Sebagai contoh, tidak harus 100 hari untuk melihat bahwa program makan bergizi gratis memang sangat diperlukan oleh bangsa ini. Faktanya pemenuhan gizi adalah kebutuhan mendasar untuk generasi penerus bangsa. Berapapun nilainya, asupan gizi harus dipastikan untuk anak-anak Indonesia. Tidak harus oleh Pemerintah, tetapi oleh seluruh pihak, baik dunia usaha/ bisnis maupun individu-individu yang berkecukupan.

Alih-alih berfokus pada 100 hari, maka perlu juga kita untuk fokus menyiapkan roadmap tahunan atau lima tahunan dengan indikator keberhasilan yang jelas baik jumlah maupun lokasinya. hal ini tentunya akan lebih relevan dengan kebutuhan nyata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun