Backpacking aku kali ini diawali oleh perkenalanku dengan seorang mahasiswi asal Jepang di kota Bogor. Sebut saja namanya Sakakibara (23).
Aku yang belum tahu banyak tentang Ujungkulon dipaksa menjadi tahu, karena setelah beberapa kali bertemu, dia mengatakan memiliki free days dan memohon untuk ditemani ke Ujungkulon. Dia berkata telah mendengar keindahan salah satu situs warisan alam dunia ini dari dosennya di Jepang.
Setelah menghubungi teman alumni kampus yang asal Banten dan membaca tulisan di berbagai blog terkait Ujungkulon, akhirnya akupun mengiyakan ajakannya. Tujuan utama kami adalah pulau Peucang. Pantai pasir putih, terumbu karang, perairan laut yang biru jernih yang sangat ideal untuk kegiatan berenang, menyelam, memancing, snorkeling dan tempat ideal bagi pengamatan satwa seperti rusa di habitat alaminya.
Setelah melewati nuansa hutan sengon dan jabon di Jasinga, lalu menghirup aroma pantai diiringi pemandangan Sunset setelah melewati Labuan, barulah jam 06.30 malam kami sampai di Cimanggu. Disini kami bertemu dengan kang Aip yang memang aseli putera Banten.
Namun mengingat mulai larut malam, kang Aip menawarkan untuk menginap di rumah mertuanya yang juga merupakan mantan kepala desa di desa Sumur. Tanpa basa-basi kami pun mengiyakan. Sebenarnya sudah ada beberapa penginapan di desa Sumur bahkan ada yang menyediakan paket tour dan kapal motor untuk turis yang memang berniat wisata atau memancing ikan. Tapi kalau ada sesama alumni kenapa tidak.
Selesai makan di Cimanggu, kami mengikuti motor trail kang Aip dari belakang. Jalan menuju desa Sumur masih manusiawi untuk city car yang saya kemudikan. Nyayian ombak, sayup terdengar dari sebelah kanan jalan yang kami lalui.
Kurang dari 1 jam kami sampai di desa Sumur dan kang Aip langsung mengenalkan kami dengan kang Hudan, salah seorang warga lokal yang juga pemilik motel & paket wisata disana. Syukurnya besok pagi akan ada trip ke pulau Peucang dengan rombongan tamu dari Jakarta yang akan dipimpin langsung oleh kang Hudan.
Sabtu pagi jam 7 di depan pasar dekat kantor desa Sumur kami berkumpul. Melangkah diantara para penjaja ikan segar lalu naik sampan bermesin untuk menuju kapal kayu yang lebih besar, yang telah menunggu di antara “bagang” (rumah apung perangkap ikan) yang berjarak kurang lebih 500 meter dari pantai.