Mohon tunggu...
Tepank Teuku
Tepank Teuku Mohon Tunggu... -

Pendiri Sanggar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Renungan Peradaban Dari WC

28 September 2010   19:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:53 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mendengar kata WC, apalagi WC ‘rame-rame’, sekilah saraf indra kita akan terbawa ke tempat yang sangat menjijikkan, membayangkan berak kering menempelhampir di setiap permukaan lantai dan dindingnya. Mengapa naluri jiwa bersih selalu kalah dengan keegoan diri yang selalu berpikir bagini: “Alah WC umum pun, ngapain aku bersihin, toh orang lain tak membersihkan juga!”

Begitulah pandangan orang terhadap fasilitas umum. Padahal, dari segi manapun dipandang kebersihan, tetap bernilai baik. Apakah sudah begitu adanya budaya kita dalam memandang fasilitas umum seperti WC? Tentu tidak semua, ada juga yang peduli terhadap kebersihan, namun kepeduliannya itu dikalahkan oleh keegoan kebanyakan manusia yang tidak mempedulikan kebersihan, sehinggadia pun turut ego.

Coba sedikit berpikir untuk mementingkan kebersihan WC! Tempat membuang kotoran tidak seharusnya kotor, bukan! Banyak manfaatkalau mau memberdayakan kebersihan WC. Secara tidak disadari, WC menjadi tempat terapi alternative ketenangan ketika melakukan pernafasan saat menunaikan ‘hajat’; bukankan pekerjaan tesebut sangat pribadi yang tak pernah dilakukan secara bersamaan dalam waktu dan ruang bersama dengan orang lain. Dan, tidak jarang dalam kesendirian itu kita mendapatkan ide atau solusi permasalahan dari ketenangan tersebut (ada yang keluar, ada juga yang masuk, bukan?). Itu didapatkan kalau WC bersih sehingga membuatkhusyu’ dalam membuang hajat. Bagaimana kalau WC kotor? Boro-boro khusyu’, kita malah memaksakan ‘dia’ keluar , lalu segera meninggalkannya.

Selain itu bila ditilik lebih jauh, kita menemukan kesamaan hak dalam WC. Tidak ada beda hak antara pejabat dan si gembel;tak ada yang berak sambil berdiri, semua jongkok atau duduk. Tidak ada kesenjangan antara si kaya dan si miskin, dan tak ada yang berak mengeluarkan emas atau perak atau setidaknya tidak ada yang berak mengeluarkan sesuatu yang dapat dimakan kembali walaupun dia makanan yang sangat mahal.

WC juga bisa menjadi ‘sekolah’ proses pendewasaan,hal tersebut pernah dimanfaatkan oleh seorang kepala kepolisian Hongkong. Dia memberisangsi kepada seorang bawahannya yang tidak disiplin dengan menugaskannya untuk menjaga WC di kantornya serta selalu menjaga membersihkannya . Sangsi menjaga WC sangat bertentangan dengan gaya hidup si bawahan yang ayahnya seorang pejabat negara dan juga kawan dari kepala kepolisian tersebut.

Pada awalnya, Si Bahawan merasa stres dengan tugas yang diembankan, namun ia tetap harus menjalankan tugasnya. Sedangkan pengguna WC merasa terhibur dengan kehadirannya yang menjadi teman ngobrolketika sedang menunaikan ‘hajat’. Tak jarang pula pengguna WC menghabiskan waktu berlama-lama berada di WC hanya untuk menumpahkan segala curahan hati kepadanya. Dia pun menjadi pendengarbudiman bagi orang-orang yang menggunakan WC; mulai dari beban kehidupanoffice-boy yang harus menanggung biaya kehidupan keluarganya; teman sekantor yang mengeluh terhadap kasusrumityang harus dipecahkan, sampaiseoarang Jederal pun pernah mengeluh kepadanya: kalau istrinya sudah uzur untuk melakukan hubungan badan. WC seolah menjadi tempat untuk berkata jujur dengan segala persolan yang tidak terlihat pada hati penggunanya. Dari hal-hal sepertiitu dia mulai mencoba berpikiruntuk mencari jalan keluar terhadap segala permasalahan mereka.

Selain tempat membuang kotoran badan, WC juga seolahmenjadi tempat membuang ‘kotoran’ pikiran. Dia pun merasa senang melihat raut wajah-wajah lega secara jasmani dan rohani ketika keluar WC. Dia baru menyadari dirinyasangat ‘berharga’bagi orang lain, dan pekerjaannyasangat bermanfaat, walau sebagai penjaga WC sekalipun, asalkan dijalani dengan ketekunan dansedikit perenungan. Dengan kesadaran itu pula dia mencoba membesihkan WC lebih giat lagi, membeli pengharum yang lebih baik dengan uang sendiri, dan menghiasi WC dengan bunga-bunga. Dan dia juga baru menyadari, bahwa ia tidak pake ‘hormat grak’ ketika berjumpa dengan atasan di WC.

Itu semua dapat diwujudkan bila WC bersih. Nah, bagaimana dengan kita? Sudahkan melihat kebersihan WC itu penting? Kalau belum, jangan sok-sokkan mengikuti perkembangan dan peradaban zaman. Lebih baik pakai jamban saja yang tidak perlu dibersihkan seperti tempoe doeloe!

Oleh Teuku Fajriman

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun