Obrolan di media, baik media mainstream maupun media sosial, akhir-akhir ini banyak membahas tentang metaverse. Tak terkecuali obrolan di pojok-pojok kedai kopi maupun ruang kerja perkantoran di kampung kami yang terbilang kota kecil, di Kabanjahe.
Keberadaan sebuah era dengan perpaduan dunia nyata dan dunia digital ini membawa serta keheranan, optimisme, kecemasan, dan kegelisahan sekaligus. Seperti apa masa depan dunia nanti?
Ruang virtual dengan pemanfaatan teknologi virtual reality dan augmented reality ini memungkinkan setiap orang dari seluruh dunia berkumpul dan berinteraksi.
Apa yang global dan yang lokal menjadi nyaris tanpa sekat. Benarkah tindakan sektoral dari seorang individu bisa berdampak luas bagi dunia, baik dalam sisi positif maupun negatifnya?
Lihat saja beberapa contoh soal kehebohan zaman kiwari terkait seseorang yang menjual alun-alun utara keraton Jogja dan tugu Monas di dunia metaverse. Atau yang terbaru ini seorang Gozhali yang menjadi kaya melalui foto selfie hariannya.
Foto-foto selfie-nya bertransformasi menjadi aset berbentuk Non Fungible Token (NFT) dengan nilai yang fantastis. Apa lagi ini?
Baik, mari kita tinggalkan sejenak kehebohan dunia virtual yang kini menjadi kenyataan dan sudah berdiri di ambang pintu rumah setiap kita. Kita kembali ke pertanyaan soal apa tindakan lokal yang bisa berdampak global itu.
Kita akan mengambil sebuah contoh tindakan kecil sebagai sumbangan nyata dalam mewujudkan harapan dari tingkat lokal hingga internasional. Contoh itu terkait dengan keberadaan pohon.
Pada Sabtu, 8 Januari 2022 yang lalu telah dilakukan Pencanangan Tahun Program Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Tahun 2022. Tema besar tahun program GBKP kali ini adalah "Kreatif Merawat Lingkungan".