Setahun ini, Tuhan, semakin banyak saja aku berjumpa dengan orang-orang yang sudah tidak bisa tertawa dengan wajar. Atau orang-orang yang sudah tidak lagi bisa menangis. Karena hatinya sudah beku. Karena hidupnya terlampau tegang.
...
Sebab itu, Tuhan, aku tak menginginkan banyak untuk tahun depan. Aku cuma minta karuniakanlah aku iman dan pengharapan.
Itulah yang paling kubutuhkan. Supaya, betapapun memuakkannya kenyataan, betapapun suramnya pengharapan, aku tetap dapat bertahan. Aku tetap punya gairah untuk berjuang.
Tiga paragraf di atas adalah refleksi dan kesaksian pribadi yang ditulis oleh Pendeta Eka Darmaputra dalam bukunya yang berjudul "Tuhan dari Poci dan Panci" terbitan BPK Gunung Mulia, Jakarta, pada Juli 1977. Kisah itu ditulis pada bagian buku dengan topik yang diberi judul "Bersantai Bersama Dia di Akhir Tahun".
Refleksi itu, meskipun ditulis sekitar 44 tahun yang lalu, masih relevan untuk menjadi permenungan dalam menyambut Natal 2021 dan tahun baru 2022 yang tinggal hitungan hari kali ini. Sebuah tahun yang masih diwarnai oleh berbagai hal, yang langsung atau tidak langsung, terpengaruh oleh pandemi.
Tahun dengan Hari-Hari yang Penuh Ketegangan
"...semua sudah semakin stress, dan semakin banyak aku lihat orang yang bersedih pada tahun ini dari pada tahun-tahun yang lalu...".
Itu kata anak sulung di keluarga kami pada sesi acara sharing saat natal keluarga yang dilakukan penuh sahaja.