Pagi itu aku harus kembali ke Kabanjahe. Ada keperluan untuk urusan keluarga yang mendesak. Waktu sudah menunjukkan pukul 6.12 WIB.
Aku memacu mobil tidak terlalu kencang. Sebab jalan menurun dari atas ketinggian 1.500 mdpl Kacinambun Highland-Siosar itu saja sudah membuatku harus berkali-kali mengerem, terutama di tikungan.
Di ufuk Timur semburat cahaya fajar pagi sungguh sangat indah. Namun, demi mengejar pukul 7.00 WIB aku harus sudah sampai di Kabanjahe, aku melewatkan saja lukisan indah matahari terbit itu.
"Pulo-pulo" Desa Kacinambun
Di seberang embung itu ada sebuah kedai kopi yang sudah buka. Kebetulan karena aku berangkat tadi belum sempat meneguk segelas air hangat pun, kuputuskan untuk sarapan sebentar saja di kedai kopi seberang embung desa Kacinambun ini.
"Minta segelas teh supen, Pak," kataku kepada pemilik warung. Saat itu ada juga dua orang lelaki paruh baya yang sudah lebih dahulu duduk di dalam kedai.
"Bungkus atau mau diminum di sini?"Â tanya pemilik warung sembari sibuk bekerja di belakang tungku dapur kedainya.
"Minum di sini saja, Pak. Saya duduk di luar," kataku. Aku berjalan menuju embung yang memikat hatiku itu. Saat itu ada kabut tipis yang melayang-layang di atas permukaan airnya.
Kedai kopi memang menjadi tempat tongkrongan kaum bapa di setiap desa di Tanah Karo. Kedai-kedai sudah buka saat pagi masih buta .
Menikmati minuman hangat sebelum memulai aktivitas pagi, diselingi obrolan ringan dan sesekali gelak tawa memecah dinginnya pagi, adalah pemandangan yang umum dijumpai di kedai kopi desa-desa di Tanah Karo.