Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Bunga dan Postulat Bersama di Pelataran Fatahillah

17 April 2021   21:19 Diperbarui: 17 April 2021   22:23 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bunga anggrek (Dokpri)

Ada bunga yang cantik dan harum, tapi taktahan lama. Ada bunga yang takharum, tapi cantik dan tahan lama.

Ada bunga yang takmahal harganya, tapi banyak yang suka. Ada yang murah meriah, dan ada yang taklaku dijual.

Ada bunga yang begini begitu. Namun, baik jenis yang mana pun, pada suatu masa semua bunga akan gugur dan taklagi berharga.

Dirumuskan di pelataran Museum Fatahillah, eks Kantor Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Bukan bermaksud berapologetika terhadap kolonialisme, karena itu adalah musuh bersama manusia terhadap nilai-nilai kebebasan yang asasi, katanya.

Di pelataran Museum Fatahillah (Dokpri)
Di pelataran Museum Fatahillah (Dokpri)
Hanya sekadar mencari alternatif perumusan kreatif rencana tindak lanjut di penghujung malam, saat jeda tugas. Lagipula, bukan kami yang mengundangnya dan menentukan judul lagunya. Bahkan pengamen pun mungkin bereksegesis membaca raut muka, menebak kami mungkin punya kuasa, sebab penguasa berkuasa memberikan uang, padahal semua kita punya nestapa.

Lalu pengamen bernyanyi, "Penguasa berilah hambamu, uang!"

Ini membawa kita kembali pada tema yang mendasari semua aturan, yakni kita harus menjalani hidup ini dengan mata terbuka, sadar akan apa yang kita lakukan dan pengaruhnya pada lingkungan dan orang-orang di sekitar kita. Kita tidak harus menjadi orang yang paling benar sendiri, namun paling tidak kita harus memikirkannya.

Silakan lewati aturan tersebut, jika kita merasa memiliki tempat lain untuk hidup, atau jika kita merasa memiliki planet lain untuk lari ketika bumi sudah terlalu berantakan.

Ini adalah aturan hidup ke-93 menurut Richard Templar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun