"Gendang telu sendalanen, lima sada perarihen" saat ini lebih umum dikenal masyarakat Karo dengan sebutan "Gendang lima sendalanen." Penamaan ini berkaitan dengan jumlah dan jenis perangkat musik tradisional yang digunakan, dan hubungannya dengan falsafah hidup orang Karo "Merga si Lima, Rakut si Telu, Tutur si Waluh."
Gendang telu sendalanen bisa dikatakan gendang tiga serangkai. Berkaitan dengan sejarah awal alat musik tradisional ini dulunya, baik dalam upacara adat suka cita maupun duka cita, peran musik pengiring yang menggunakan perangkat tradisional ini sangat vital untuk kesuksesan acara.
Uniknya, gendang telu sendalanen, yang terdiri atas pemukul gung (gong), anak gendang, dan penarune (peniup serunai) pada zaman dulu ada di setiap kampung di Tanah Karo.
Jadi, bilamana ada upacara adat yang membutuhkan musik pengiring, maka pihak keluarga yang menyelenggarakan acara tinggal mengundang dua pemain musik lagi dari luar kampung, yang terdiri atas pemain gendang penganak dan indung gendang.
Kombinasi kelima unsur alat musik tradisional inilah yang dinamakan "Gendang telu sendalanen, lima sada perarihen." Bila diterjemahkan secara bebas artinya gendang tiga serangkai, lima jadi satu mufakat.
Ada hal-hal yang unik dan menarik dibalik alat-alat musik tradisional Karo ini. Mari kita lihat satu persatu.
1. Gung atau gong
Sudah umum diketahui pemakaian material logam dalam membuat gong sebagai kelengkapan alat musik tradisional pada berbagai suku di Indonesia.
Namun, sebagaimana dituturkan oleh bapak Deking Sinulaki, seorang pelaku seni musik dan tari tradisional suku Karo, ada perbedaan material dan cara pembuatan gong pada suku Karo dan suku lainnya, misalnya pemakaian gong pada suku Jawa.
Gong yang disebut gung pada suku Karo dibuat dari bahan kuningan. Cara membuatnya adalah dengan dicetak (maksudnya diketuk) oleh tukang besi, yang pada suku Karo disebut pande besi.