Notasi musik untuk rengget Karo (cengkok Karo) tidak mudah dituliskan. Cengkok lagu Karo harus dihidupkan oleh penyanyinya sendiri. (Sugeng Pratikno - Purba, 1990)
Ungkapan perasaan tentang lagu Karo itu adalah komentar dari seorang pengajar di jurusan musik Institut Kesenian Jakarta. Sugeng Pratikno adalah seorang suku Jawa yang belajar musik tradisi Karo dan membuat musik bernuansa Karo dalam drama musikal "Baptisan Pertama", disutradarai oleh Herri Ketaren Purba (1990) dan Prima Tarigan sebagai produser, dengan pemeran Ramona Purba, Tiofanta Pinem, Arthur Tobing, Joseph Ginting dan puluhan pendukung lainnya. Semangat kaum muda.
Pementasan drama musikal ini disaksikan ribuan penonton di lapangan terbuka Gelora Kasih Sukamakmur, Sibolangit, Sumatera Utara, dalam rangka perayaan Jubileum 100 tahun Gereja Batak Karo Protestan (GBKP).
Hal ini terungkap saat saya mengikuti pertemuan secara virtual melalui Zoom bersama dengan dua orang Karo yang sangat inspiratif. Dia adalah Herri Ketaren Purba dan Antha Pryma Ginting.
Herri Ketaren Purba yang dalam sistem kekerabatan Karo saya panggil dengan sebutan "mama", sejak tahun 1990-an sudah saya kenal namanya sebagai seorang sutradara lulusan sinematografi Institut Kesenian Jakarta. Ia menggarap berbagai film, khususnya film untuk televisi, menghiasi layar Televisi Republik Indonesia (TVRI). Satu-satunya stasiun televisi yang dapat diterima oleh pesawat televisi di kampung kami, Desa Serdang, Kecamatan Barusjahe, Tanah Karo saat itu.
Pada tahun 1980 Â ketika dia masih kuliah semester 4, ia membuat sebuah film dalam bahasa Karo berjudul "Penggejapen". Film ini diputarkan ke desa-desa di Tanah Karo, kurang lebih 5 tahun. Sayangnya salinan film ini sudah tidak ada lagi.
Sementara itu Antha Pryma Ginting yang saya panggil "impal", adalah seorang artis, seniman muda, dan penyanyi Karo yang sudah terkenal, khususnya di kalangan masyarakat Karo. Saya paling menikmati saat dia menyanyikan lagu Karo yang berjudul "Erkata Pet-pet" dan "Tenah Lau Binge".
Bukan saja karena suara emasnya yang memang khas, tapi kedua lagu ini adalah contoh lagu Karo yang berasal dari zaman yang sudah tua, diciptakan oleh seorang komponis nasional kebanggan Tanah Karo, mendiang Djaga Depari. Salah satu lagu ini, "Tenah Lau Binge" pernah saya ulas dalam tulisan di Kompasiana ini.
Tulisan ini bukan membahas tentang kedua orang hebat dan inspiratif ini, tapi kami bertemu untuk berbincang sebagaimana layaknya orang mengobrol di kedai kopi di Tanah Karo. Namun, karena ini masa pandemi maka pindahlah kedai kopi itu ke layar monitor laptop.
Kami mengulas berbabagi hal terkait lagu-lagu Karo yang inspiratif, terutama hasil karya Djaga Depari, termasuk juga lagu-lagu Karo tempo dulu yang diciptakan oleh sosok-sosok yang hampir tidak lagi dikenali sejarahnya. Lagu-lagu dengan pencipta tanpa nama, alias anonymous atau tertulis NN. Salah satunya lagu "Terdaram-daram" yang diciptakan oleh "Bulang" saya (kakek, dalam bahasa Indonesia), mendiang Sayang Ginting ini.
Tentang lagu-lagu Djaga Depari, kita akan menemukan nuansa semangat, perjuangan, penghormatan, dan rasa kasih persaudaraan terhadap sangkep nggeluh (kerabat), dan keindahan alam, dalam lirik lagu-lagu ciptaannya. Sebabnya tidak lain, pada masa hidup Djaga Depari, dia berada di tengah-tengah dan di antara kalak Karo (orang Karo), di mana filosofi hidup asali orang-orang Karo masih terpelihara dan dihidupi dengan baik, alam ciptaan Tuhan sebagai lokus nilai ke-Karo-an didihupi juga masih terjaga dengan baik.
Â
Tiga Jam Bersama H.K. Purba dan Antha Pryma Ginting
"Cara yang baik untuk "mpegeluh penggejapen" (menghidupkan perasaan) dan menyampaikan suara hati adalah dengan musik dan lagu yang dapat diterima secara universal. (Herri Ketaren Purba)
Zoominar kami bertiga tentang lagu-lagu Karo ini berlangsung selama tiga jam, sejak pukul 15:00 WIB sampai dengan pukul 18:00 WIB, pada Selasa, 5 Januari 2021. Saya dan impal Antha Pryma Ginting bertukar pendapat secara bergantian, dipandu oleh mama H.K. Purba, yang selain bertindak sebagai host, juga sebagai mentor.
Antha Pryma Ginting, artis, seniman, penyanyi Karo yang terbilang masih cukup muda ini adalah generasi muda seniman Karo yang berasal dari Desa Surbakti, Kecamatan Simpang Empat, Tanah Karo. Dari pengakuannya, ia sudah mengetahui lagu Karo sejak masa kecilnya.
Orang tuanya suka membeli kaset lagu Karo sejak dulu, pada masa radio transistor dan tape recorder masih berjaya. Dia mengingat betul saat pergi dan pulang dari ladang dengan kendaraan "gereta lembu" (gerobak/ pedati yang ditarik oleh seekor sapi), yang dilengkapi dengan kotak radio. Tape recorder itu, tak pernah lupa dibawa ke ladang oleh orang tuanya.
Sedikit tentang profil desa Surbakti dalam kaitannya dengan seni, bahwa di desa ini sejak dahulu sudah ada beberapa grup band Karo. Bahkan hingga kini masih ada satu grup musik tiup (brass) yang usianya sudah cukup tua.
Antha mengenal lagu Djaga Depari, di antaranya yang paling dia sukai yang berjudul "Sora Mido" dan "Simulih Karaben", mulai sejak SD. Saat itu usianya masih sekitar 9 tahun. Dia menyukai melodinya, walaupun liriknya belum terlalu dipahaminya pada masa itu.
Menurutnya, bahkan sampai sekarang banyak lirik lagu Djaga Depari yang perlu dicerna dengan cermat untuk bisa memahaminya. Lagu Djaga Depari menurutnya berisi lirik-lirik yang mendidik, dan mengundang kita untuk belajar memahaminya.
Lirik lagu "Simulih Karaben" contohnya. Klausa "cakap-cakap la radum"Â dan frasa "simulih karaben", itu bisa ditafsirkan sebagai metafora untuk menunjuk kepada "perjuma-kurumah" atau petani yang pulang pergi dari rumah ke ladang, dari pagi hingga senja menjelang setiap harinya. Singkatnya, menurutnya lirik lagu-lagu Djaga Depari bernilai klasik.
Nilai klasik itulah yang menurutnya sudah susah ditemukan pada lagu Karo masa kini. Djaga Depari tidak menyampaikan makna lagunya dalam bahasa dengan makna langsung dan sebenarnya, tapi memutar sebelum sampai ke tafsirnya yang lain. Lagu-lagunya akan membawa kita dari satu tafsir ke tafsir lainnya, begitulah kira-kira.
Dari mama H.K. Purba saya mendapatkan tafsir yang lain atas lagu "Simulih Karaben" itu. Katanya, pada masanya saat lagu itu diciptakan, Djaga Depari pulang paling akhir dari pengungsian pada masa perjuangan kemerdekaan. Saat itu ia merasakan seperti tidak ada tempat lagi untuk kembali pulang.
Sementara itu menurut ibu Norma Ginting, salah seorang perkolong-kolong (biduanita Karo), sebagaimana penuturan mama H.K. Purba, lagu "Simulih Karaben" itu bisa ditafsirkan mengambarkan kehidupan senjakala bagi orang-orang lanjut usia. Orang lanjut usia yang bersiap karena merasa tak lama lagi akan meninggalkan kehidupan.
Ibu Norma Ginting ini, kemana saja diminta erkolong-kolong (menjadi bidunita untuk mengisi berbagai acara), pasti akan selalu menyanyikan beberapa lagu Djaga Depari kesayangannya, diminta atau tidak diminta oleh si empu acara. Lagu-lagu ciptaan Djaga Depari itu di antaranya, selain "Simulih Karaben", ada juga "Sora Mido", "Padang Sambo", "Piso Surit", dan "Io Io Lau Beringen".
Antha Pryma Ginting dan Sebuah Tanya
Setiap karya, termasuk sebuah lagu, hanya Tuhan dan penciptanya yang mengetahui apa makna sebenarnya dari lirik lagunya, dan untuk apa itu ditujukan. Selebihnya, biarkan penikmat yang bebas menafsirkannya. (Antha Pryma Ginting)
Antha memberikan sebuah kesaksian bahwa ketika ia merasakan bahwa lagu-lagu lama, dalam hal ini lagu-lagu Karo, tidak terlalu digemari lagi, ia membuat sebuah proyek perekaman kembali lagu Djaga Depari berjudul "Erkata Pet-pet" dengan lirik dan melodi yang sederhana. Maksudnya melakukan hal ini agar lagu ini bisa lebih diterima kembali dan dinikmati oleh masyarakat secara luas.
Menurutnya lirik lagu itu termasuk simpel, tidak sulit dipahami. Menurut saya pribadi, terobosan pada lagu ini cukup berhasil untuk menarik kembali minat penikmat lagu-lagu Karo ke arah lagu-lagu klasik Karo.
Djaga Depari menurut Antha sangat berpengaruh dalam mewarnai karyanya. Setidaknya, dari lagu-lagu Djaga Depari ia bisa berkaca dan "lanai pang mekarus erbahan lirik". Artinya, tidak tega membuat lirik-lirik lagu ciptaannya secara serampangan, sembarangan, dan sekadarnya saja.
Dalam proyek perekaman ulang lagu "Erkata Pet-pet", ia bercerita bahwa pada awalnya ia tidak pernah mendengar lagu ini. Adalah ibu Sri Ulina br Ginting, istri mendiang Langsat Tarigan, salah seorang perkolong-kolong kondang (biduan Karo) pada masanya, mengundang para seniman Karo untuk mengisi acara syukuran, karena makam mendiang suaminya itu telah selesai dipugar.
Pada acara ini, para seniman Karo diminta menyanyikan lagu-lagu mendiang Langsat Tarigan, dan lagu-lagu alm. Djaga Depari yang dipopulerkan oleh mendiang Langsat Tarigan. Adalah lagu "Erkata Pet-pet" yang diaransemen oleh Antha Pryma Ginting untuk dinyanyikan Averiana br Barus pada kesempatan itu.
Selanjutnya lagu "Erkata Pet-pet" ini direkam ulang dan dinyanyikan oleh Averiana br Barus dengan iringan musik yang diaransemen oleh Berlin Tambunan. Lagu "Erkata Pet-pet" versi yang ini dipakai sebagai salah satu sound track pada film kisah romantika Karo era 70-an berjudul "Jandi La Surung."
Pada lagu "Erkata Pet-pet" yang memakai aransemen dari Antha Pryma Ginting, ia melakukan perekaman ulang dengan memasukkan nuansa perpisahan. Termasuk tafsiran perpisahan yang diakibatkan oleh karena meninggal dunia, tapi tidak terbatas pada tafsir itu sendiri. Makna perpisahan itu yang diaplikasikan sebagai nafas lagu.
Sejalan dengan penjelasan mama H.K. Purba, perbedaan dalam aransemen ini adalah justru hal yang baik. Seniman-seniman muda Karo sangat baik melakukan perekaman ulang lagu-lagu lawas berbahasa Karo, termasuk lagu-lagu ciptaan alm. Djaga Depari, dengan aransemen yang kaya dan bernuansa milenial. Namun, menjadi penting untuk tetap memakai syairnya yang asli, karena syair itu telah diproses secara utuh pada zamannya.
Mengapa tidak, kalau ada yang bisa mengaransemennya dengan genre musik metal, klasik, atau aliran musik apa pun. Sepanjang makna filosofis syairnya tetap terjaga dan lestari.
Sejalan dengan itu, menurut Antha Pryma Ginting, bahwa di era digital ini, jalan terbaik untuk memajukan karya seni, termasuk lagu, adalah melalui optimasi peran publisher. Masalahnya, apakah organisasi seniman Karo yang ada saat ini sudah mampu membuat publisher yang optimal sendiri?
H.K. Purba dan Strategi Budaya
"Seniman Karo masa kini perlu menciptakan sebuah trend, di mana makna syair-syair lagu Karo yang baik dan bernilai luhur dibuat sampai kepada generasi muda Karo saat ini. Ini adalah suatu strategi budaya, agar nilai-nilai budaya dan filosofi hidup orang Karo yang baik (saat manusia-manusia Karo, alam Tanah Karo, dan seni budaya Karo masih begitu baiknya pada masanya), tetap lestari dan makna pentingnya tetap dapat ditangkap dan dipahami oleh generasi Karo sekarang." (H.K. Purba)
"Kerina lagu-lagu Djaga Depari melodina bernuansa Karo, cocok man kalak Karo, ras cocok imainken salu sarune."Â Pendapat mama H.K. Purba tentang lagu-lagu Djaga Depari itu bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kira-kira menjadi seperti ini "Semua lagu-lagu alm. Djaga Depari melodinya bernuansa Karo, cocok dengan realitas hidup orang Karo, dan cocok dimainkan dengan sarunai."
Ciri khas unik lagu Djaga Depari ini juga bisa menjadi salah satu alat uji untuk pengujian awal berbagai lagu yang nyaris tidak lagi dikenali siapa penciptanya.
Menurut mama H.K. Purba ciri khas unik lagu-lagu Djaga Depari lainnya adalah bahwa semua syair lagunya "mehamat" (penuh hormat, sopan), lembut, tapi juga "mbages perpanna" (dalam maknanya). Unsur-unsur perasaan dalam lagu-lagunya membuat seluruh lagu itu kiranya bermakna dan bersifat universal, dan tidak ada orang, terutama orang Karo yang masih memegang teguh nilai budaya, yang merasa tabu menyanyikannya.
Agar strategi budaya lewat lagu ini bisa terlaksana, menjadi tanggung jawab kita bersama, terutama para seniman Karo, yang mampu menciptakan lagu dan menyampaikan pesan mulia lewat nyanyian, sehingga generasi muda Karo masa kini mampu untuk lebih banyak mendengar tentang Karo. Di sana, dalam lagu lagu Karo yang baik itu, terkandung makna filosofi asali, sejarah, seni, budaya, spiritualitas, dan religiositas yang ikut mengiringinya.
Lagi menurutnya, adalah keliru kalau menuntut pemerintah yang bertanggung jawab penuh untuk pelestarian seni dan budaya Karo. Justru sikap seperti ini akan menjadi cikal bakal mandegnya perkembangan gendang Karo, musik, lagu, kesenian, budaya, dan lagu Karo sebagai satu kesatuan.
Mendukung pendapat itu, mama H.K. Purba menyampaikan sebuah perbandingan yang menarik. Satu hal yang bisa dipetik sebagai pelajaran dari realitas korban erupsi Gunung Sinabung, berawal dari tahun 2010 silam.
Saat terjadinya erupsi, siapakah yang paling banyak berperan dalam penanggulangan dampaknya? Tidak lain adalah rakyat, masyarakat sendiri, bukan pemerintah. Sebab itulah yang menjadi nilai dasar kehidupan, falsafah hidup orang Karo.
Filosofi hidup kalak Karo (orang Karo) adalah kolaborasi melalui runggu (musyawarah), bukan gotong rotong. Sebab bagi masyarakat Karo dengan sistem kekerabatannya, tidak memungkinkan kalimbubu (pihak pemberi istri, dan oleh sebab itu dia menjadi pihak yang harus dihormati karena merupakan simbolisasi sumber kehidupan) untuk bergotong rotong, bekerja bersama, dalam peran yang sama dengan anak beru (pihak penerima istri, yang oleh sebab itu harus menaruh hormat kepada kalimbubunya/ pihak pemberi istri). Namun, orang Karo sejak dahulu sudah mengenal gagasan kolaborasi, sebab peran sebagai anak beru dan kalimbubu akan dimainkan secara bergantian dalam kehidupannya.
"Orang Karo adalah yang seharusnya paling mengenal apa yang menjadi persoalannya sendiri. Namun, pertanyaannya bagaimana caranya supaya dia mengenal dan mengetahui apa yang menjadi persolannya?"
Bagaimanapun, sebuah strategi, termasuk strategi budaya dibangun berawal dari komunikasi. Dari komunikasi yang baik akan melahirkan kolaborasi yang baik. Rasanya semangat kolaborasi inilah yang sudah tidak atau belum hidup optimal pada jiwa manusia-manusia Karo, termasuk para seniman, pada masa kini. Hendaknya niat kolaborasi jangan justru terjebak dalam semangat persaingan bisnis semata.
Mama H.K. Purba mengutip kesaksian mendiang Pdt. Agustinus Pengarapen Purba, STh, MA, mantan Ketua Umum Moderamen GBKP pada awal November 2020 yang lalu. Beliau meninggal dunia pada 19 November 2020 yang lalu.
Lagu bercerita tentang rasa, dan rasa akan lahir menjadi tindakan. Begitulah falsafah hidup orang Karo bisa tersampaikan lewat lagu yang berbuah menjadi tindakan. Dari sanalah berasal frasa "lagu langkah" dalam bahasa Karo, yang bila diterjemahkan secara bebas bisa dimaknai sebagai tindak tanduk atau perangai. "Lagu langkah" adalah ekspresi rasa sebagai tindakan dalam diri seorang manusia.
Melupakan esensi dan substansi falsafah hidup dalam budaya, sekalipun budaya memang bisa saja akan tetap berubah dan berkembang, hanya akan membuat kita terjebak dalam bias praktik adat. Bias praktik adat itu akan menguras dan menghabiskan banyak, tapi nyaris tanpa menghasilkan rasa apa-apa, selain rasa penat dan capai tak terkira.
Segala pesan dan nilai-nilai filosofis budaya, dalam hal ini budaya Karo, kiranya besar kemungkinannya akan tersampaikan dengan baik lewat hasil cipta karya yang baik. Bisa lewat lagu, musik, film, tulisan, dan sebagainya yang diberi nyawa oleh penciptanya.
Seni dan kesenian janganlah menjadi sekadar benda mati yang terombang-ambing mengikuti selera zaman. Sebaliknya, selera itu harusnya dibentuk oleh kreasi manusia yang bertanggung jawab untuk kemanusiaan.
Â
Wasana Kata
Salah satu prinsip penting dalam budaya dan kehidupan orang Karo adalah "kata persinget". Maknanya bukan sekadar teguran, tapi lebih sebagai tegur sapa lembut penuh perasaan dengan makna yang mendalam untuk kembali mengingatkan nilai kehidupan yang mungkin sudah terlupakan. "Kata persinget" bisa tampil dalam bahasa lisan dan tulisan, termasuk lewat lagu, yang sangat lembut tapi menohok dan menampar perasaan terdalam dengan sangat kerasnya.
Itulah beberapa nilai yang perlu ditumbuhkan kembali, tidak saja di kalangan masyarakat Karo saat ini, tapi manusia dunia dalam arti universal. Sebab, bukan kita manusia tidak paham, tidak mampu, dan tidak bisa. Namun, kita manusia bisa saja lupa.
Demikianlah hasil "cakap-cakap kedai kopi" kami bertiga pada sore hari itu. Cukup panjang? Ya, tentu saja, karena tidak kurang panjang perjuangan yang diperlukan setiap kali kita menemukan kerinduan untuk berbuat kebaikan bagi kampung halaman, sekecil apa pun itu. Apalagi menyangkut diri kita sendiri.
Masih kurang panjang? Ya, tentu saja masih ada kusimpan sebagian. Kusisakan rindu bila itu juga rindumu, agar di lain hari itu tetap menjadi kerinduan kita bersama.
Penting untuk Diingat!
Peranan "cakap-cakap kedai kopi" penting bagi kalak Karo (orang Karo). Filosofi hidup ke-Karo-an banyak dibangun dari percakapan kedai kopi. Namun, tak jarang juga peradaban luhur berakhir, diawali dari percakapan kedai kopi.
Mari, lebih baik banyak bernyanyi, lewat lagu yang baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H