Mendukung pendapat itu, mama H.K. Purba menyampaikan sebuah perbandingan yang menarik. Satu hal yang bisa dipetik sebagai pelajaran dari realitas korban erupsi Gunung Sinabung, berawal dari tahun 2010 silam.
Saat terjadinya erupsi, siapakah yang paling banyak berperan dalam penanggulangan dampaknya? Tidak lain adalah rakyat, masyarakat sendiri, bukan pemerintah. Sebab itulah yang menjadi nilai dasar kehidupan, falsafah hidup orang Karo.
Filosofi hidup kalak Karo (orang Karo) adalah kolaborasi melalui runggu (musyawarah), bukan gotong rotong. Sebab bagi masyarakat Karo dengan sistem kekerabatannya, tidak memungkinkan kalimbubu (pihak pemberi istri, dan oleh sebab itu dia menjadi pihak yang harus dihormati karena merupakan simbolisasi sumber kehidupan) untuk bergotong rotong, bekerja bersama, dalam peran yang sama dengan anak beru (pihak penerima istri, yang oleh sebab itu harus menaruh hormat kepada kalimbubunya/ pihak pemberi istri). Namun, orang Karo sejak dahulu sudah mengenal gagasan kolaborasi, sebab peran sebagai anak beru dan kalimbubu akan dimainkan secara bergantian dalam kehidupannya.
"Orang Karo adalah yang seharusnya paling mengenal apa yang menjadi persoalannya sendiri. Namun, pertanyaannya bagaimana caranya supaya dia mengenal dan mengetahui apa yang menjadi persolannya?"
Bagaimanapun, sebuah strategi, termasuk strategi budaya dibangun berawal dari komunikasi. Dari komunikasi yang baik akan melahirkan kolaborasi yang baik. Rasanya semangat kolaborasi inilah yang sudah tidak atau belum hidup optimal pada jiwa manusia-manusia Karo, termasuk para seniman, pada masa kini. Hendaknya niat kolaborasi jangan justru terjebak dalam semangat persaingan bisnis semata.
Mama H.K. Purba mengutip kesaksian mendiang Pdt. Agustinus Pengarapen Purba, STh, MA, mantan Ketua Umum Moderamen GBKP pada awal November 2020 yang lalu. Beliau meninggal dunia pada 19 November 2020 yang lalu.
Lagu bercerita tentang rasa, dan rasa akan lahir menjadi tindakan. Begitulah falsafah hidup orang Karo bisa tersampaikan lewat lagu yang berbuah menjadi tindakan. Dari sanalah berasal frasa "lagu langkah" dalam bahasa Karo, yang bila diterjemahkan secara bebas bisa dimaknai sebagai tindak tanduk atau perangai. "Lagu langkah" adalah ekspresi rasa sebagai tindakan dalam diri seorang manusia.
Melupakan esensi dan substansi falsafah hidup dalam budaya, sekalipun budaya memang bisa saja akan tetap berubah dan berkembang, hanya akan membuat kita terjebak dalam bias praktik adat. Bias praktik adat itu akan menguras dan menghabiskan banyak, tapi nyaris tanpa menghasilkan rasa apa-apa, selain rasa penat dan capai tak terkira.
Segala pesan dan nilai-nilai filosofis budaya, dalam hal ini budaya Karo, kiranya besar kemungkinannya akan tersampaikan dengan baik lewat hasil cipta karya yang baik. Bisa lewat lagu, musik, film, tulisan, dan sebagainya yang diberi nyawa oleh penciptanya.
Seni dan kesenian janganlah menjadi sekadar benda mati yang terombang-ambing mengikuti selera zaman. Sebaliknya, selera itu harusnya dibentuk oleh kreasi manusia yang bertanggung jawab untuk kemanusiaan.
Â
Wasana Kata