Ketika tinggal di kampung bersama nenek, saat itu saya duduk di kelas 3 Sekolah Dasar di kampung kami, Desa Serdang Kecamatan Barusjahe Kabupaten Karo. Setiap hari kelas dimulai pada pukul 08:00 wib, setelah sebelumnya kami mengikuti kegiatan baris berbaris di halaman sekolah.
Seakan sudah menjadi rutinitas setiap hari, sekitar pukul 08:30 hingga 09:00 Wib, dari kelas saya biasa mendengar obrolan serombongan ibu-ibu yang dalam perjalanan berangkat ke ladang atau sawah lewat di depan sekolah kami. Sekolah kami itu memang ada di pinggir jalan utama desa, yang juga merupakan jalan menuju salah satu sentra perladangan dan sawah warga desa.
Rombongan ibu-ibu yang berangkat ke ladang atau sawah itu, biasa juga disebut "Aron", yang bila diterjemahkan secara bebas sebagai istilah populer saat ini bisa juga disebut sebagai buruh tani.
Mereka bekerja di ladang atau di sawah untuk mengerjakan berbagai pekerjaan sesuai dengan musim atau waktunya, bisa saja membersihkan lahan dan menyiapkan bedeng-bedeng tempat menanam, menyiangi tanaman, memanen hasil tanaman, hingga menanam atau memanen padi di sawah pada musimnya.
Ibu-ibu yang tergabung dalam rombongan Aron itu akan menerima upah dari hasil kerjanya. Seingatku pada saat itu, sering juga mereka tidak langsung menerima upah pada hari di mana mereka bekerja. Bisa besoknya atau bahkan lusa.
Pemilik ladang atau sawah yang membutuhkan bantuan jasa tenaga para Aron ini juga tidak semua orang berduit, sehingga terkadang tidak selalu memiliki uang tunai untuk mengupah mereka. Sering juga, setelah hasil panen dijual ke pasar, barulah utang untuk upah tenaga kerja bisa dibayarkan.
Mereka yang ikut sebagai Aron atau buruh tani ini, masing-masing juga memiliki ladang dan sawah sendiri. Hanya karena di ladang atau sawah mereka sedang tidak banyak yang perlu dikerjakan, atau karena suatu kondisi di mana mereka sangat membutuhkan uang, sehingga bekerja sebagai Aron adalah alternatif untuk bisa segera memperolehnya.
Pada hari yang lain, bisa saja di antara Aron yang memburuhkan dirinya itu, berganti peran sebagai pemilik ladang yang memakai jasa Aron. Lagipula, dalam pengalaman saya pribadi ketika ikut bersama mendiang kakek dan nenek ke ladang, pemilik ladang juga ikut bekerja dengan para Aron.
Bahkan, dari cerita mendiang nenek, pada zaman dulu, konsep mengolah ladang atau sawah dengan sistem Aron ini bahkan tidak dibayar. Warga desa yang seluruhnya bertani, dengan sistem kekeluargaan dan kegotong-royongannya, secara bergantian mengolah lahan atau sawah yang satu dengan yang lainnya dengan kesadarannya, bahwa mereka memang perlu saling membantu satu dengan lainnya.
Hari ini kita di ladang atau sawahku, besok kita ke ladang atau sawahmu, lusa kita ke ladang atau sawahnya, demikian seterusnya. Begitulah sekilas gambaran hubungan antara pemilik ladang atau sawah dengan Aron yang saya ingat dan saya dengar ketika di kampung.
Karakter hidup saling membantu yang demikian, seolah menjadi salah satu ciri khas kehidupan masyarakat kampung yang juga menjadi potensi daya tahannya. Namun, dalam perjalanannya, istilah Aron ini sendiri mengalami pergeseran makna, bahkan penyederhanaan makna menjadi sekadar buruh tani.