Kondisi yang semakin sulit bagi media cetak yang dibarengi oleh gempuran masif perkembangan dan preferensi para pembaca yang beralih ke media online cukup menyulitkan bagi para pekerjanya untuk bisa menafkahi keluarga. Abang ini memiliki 5 orang anak, dua diantaranya sudah berumah tangga, ada yang masih duduk di bangku SMA, SD dan ada yang belum sekolah.
Beberapa media yang masih bertahan itu juga tampaknya mengikuti perkembangan keadaan dan arah minat pembaca dengan memiliki versi media online. Maka tidak heran, bila menurut pengakuannya dalam selang waktu yang tidak berjauhan ada 5 orang loper koran yang mundur dari pekerjaannya di kampung kami ini, dari tahun 2017 yang lalu.
Bang Tanjung terakhir ikut bergabung di Metro 24 Jam, selama 1 tahun terakhir sebelum ia mundur dari dunia ini. Kalau dulu pada masa jayanya ia bisa mendapatkan penghasilan hingga Rp. 450.000/hari dari hasil berjualan koran, hingga sembilan bulan yang lalu penghasilannya terus menurun hingga tak sampai Rp. 100.000/ hari.
Menurut pengakuannya, hingga saat ini masih ada sekitar 10 orang yang bekerja sebagai loper koran di Kabanjahe sampai ke desa-desa dan sekitar 7 orang di Berastagi. Kedua tempat ini merupakan dua kota terbesar di kampung kami, satu merupakan ibu kota Kabupaten dan yang satu lagi adalah kota wisata yang dingin dan sejuk segar.
Pengalaman sebagai loper koran selama 37 tahun di sebuah kota yang kecil di kampung kami, memberikan kenangan tersendiri bagi bang Tanjung  sesuai kesaksiannya bahwa bagaimanapun setiap masa jaya ada masa turunnya. Pasti tidak mudah meninggalkan jejak hidup yang telah terukir dalam kurun waktu selama itu.
Sama halnya dengan di media cetak seperti koran ini, ada masa jaya dan ada masa turun. Bagi dia sendiri, hidup dari menjual koran tidak akan bisa lagi memenuhi tuntutan kebutuhan keluarga.
Salah satu sumber keberlanjutan rantai kehidupan media seperti koran ini salah satunya ada pada wartawan, dan juga agen serta loper koran. Kelangsungan hidup wartawan, agen dan loper koran tidak juga bisa dijamin oleh percetakan.
Maka dari itu, untuk mengasah asa di antara senja kala media cetak, bang Tanjung mantap mengambil sikap beralih menjual mie dan sate kerang. Ia mulai berjualan pada jam setengah 4 sore sampai jam 18:30, setiap harinya.
Pengalaman berjualan mie dan sate kerang selama sembilan bulan terakhir ini menurutnya lebih bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Memang sedikit banyak, selama tiga bulan terakhir ini usahanya juga ikut terdampak penyebaran covid-19 yang belum pasti kapan akan berakhir.
Tapi dia percaya bahwa media cetak mungkin tidak akan habis, mungkin tidak dalam waktu dekat ini. Tapi kiprahnya mungkin akan terus semakin memprihatinkan. Kalaupun mampu bertahan pasti membutuhkan sebuah terobosan besar.Â
Di samping harapannya terhadap dunia media cetak yang telah digelutinya dalam kurun waktu yang bisa dibilang sudah cukup lama, dia juga realistis bahwa perjuangan untuk hidup harus terus dilakukan, sekalipun tidak mudah.