Sapu lidi sering kali dipakai sebagai contoh kiasan untuk memaknai persatuan, dalam pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) atau Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) bagi murid-murid sekolah dasar sejak dulu.Â
Kata bapak/ibu guru, batang-batang lidi yang diikat dalam satu ikatan adalah gambaran yang menjelaskan kebenaran dalam ungkapan bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
Namun, kini dalam salah satu langkah pencegahan penyebaran covid-19 yang paling baik yakni dengan membatasi pertemuan dengan orang-orang dalam jumlah besar, kiasan yang relevan dengan kenyataan itu menjadi sebaliknya. Bercerai kita teguh, bersatu kita runtuh, bila dimaknai bahwa memisahkan diri dari kerumunan lebih baik dari pada ngumpul-ngumpul.
Namun, baik dulu atau kini, masih ada sebuah nilai yang tetap relevan dan aktual untuk dimaknai dari sapu lidi. Dulu atau kini, sapu lidi adalah gambaran dari sebuah kesederhanaan.
Mencoba memaknainya, hari ini saya mencoba membuat sapu lidi sendiri. Memakai bahan dari helai-helai tangkai janur pohon aren yang diambil dari hutan untuk keperluan sebuah acara pada dua minggu yang lalu.
Di pasar harga sapu lidi bervariasi, tergantung ukuran dan bentuknya. Ada yang besar, kecil, bertangkai dan tidak bertangkai. Biasanya harganya mulai dari Rp. 1.000 hingga Rp. 5.000 per buahnya.
Sapu lidi yang murah mengindikasikan bahwa tidak sulit untuk mendapatkan bahannya, dan juga tidak sulit untuk membuatnya. Di sanalah salah satu letak kesederhanaanya.
Sesuatu yang murah dan mudah dibuat karena sederhana bukan berarti tidak diperlukan. Tidak penting bukan berarti tidak perlu.
Bila permintaan akan sapu lidi mungkin tidak besar, selain karena alat kebersihan sederhana yang satu ini tidak mudah rusak, barangkali itu juga adalah indikasi bahwa benda yang satu ini tidak terlalu sering digunakan.