Alkisah pada suatu ketika bertemulah ukat dan kuran. Ukat adalah sebutan dalam bahasa Karo untuk sebuah alat semacam centong nasi yang terbuat dari bambu. Sementara itu, kuran adalah wadah untuk mengambil air yang terbuat dari seruas bambu.
Dalam pertemuan itu, ukat berkata kepada kuran, "Wahai kuran, berhati-hatilah, jangan pergi ke sungai. Air sedang besar, maka kau bisa tenggelam". Ukat terlihat cukup peduli dengan keselamatan kuran. Namun, ada yang salah kaprah dalam hal ini, membuat apa yang diucapkan oleh ukat seolah adalah hal yang sudah biasa.
Ukat dalam fungsinya untuk menanak nasi, sesekali memang bersentuhan dengan air. Namun, itu pun hanya sesekali dan sebentar, ketika air dalam periuk yang digunakan untuk menanak nasi sudah menggelegak, kalau-kalau airnya terlalu banyak dan perlu dikurangi agar nasi tidak terlalu lembek. Selebihnya, ukat hanya tergantung di dinding dapur, tidak kemana-mana.
Sementara itu, kuran dalam fungsinya sebagai wadah air memang sepanjang waktu bersentuhan dengan air. Bila sumber air bersih ada di sungai, maka ke sungailah ia dibawa. Atau bila sumber air itu ada di atas gunung, ke sanalah ia dibawa. Jadi, tentang segala sumber air dan besar kecilnya pastilah kuran yang lebih paham daripada ukat yang hampir tidak kemana-mana.
Demikian juga dalam kehidupan kita. Seringkali sesuatu yang salah kaprah tampak diabaikan, hingga sudah menjadi biasa. Apa pun asalkan tenang tenteram, ya sudahlah. Dari pada menegur kesalahan, menyatakan kebenaran atau memberikan pengajaran, tapi berisiko menyebabkan kegaduhan, sudahlah, lebih baik didiamkan. Walau sebenarnya, membiarkan sesuatu yang salah sama artinya dengan bersama-sama menertawakan kebodohan.
Begitu seringkali kita temukan keadaan. Ibarat pepatah, situasi salah kaprah menjadi terpelihara karena prinsip "biar salah asal aman". Ukuran salah dan benar dalam hal ini bukan soal ukuran moral, melainkan salah dan benar terkait informasi, kabar atau berita, sebagaimana kabar tentang air sungai yang besar, yang disampaikan oleh ukat kepada kuran.
Sudah jelas, tidak ada jaminan keamanan dalam sebuah kabar yang salah. Justru sebaliknya, informasi, kabar atau berita yang salah tentu mengandung potensi risiko, tergantung jauhnya informasi melenceng dan pentingnya persolan atau isu yang disesatkan.
Salah kaprah yang dibiarkan demi alasan keamanan dan ketertiban atau stabilitas, adalah lahan yang subur bagi terciptanya disinformasi. Itu adalah sebuah informasi palsu dengan maksud untuk menipu opini publik.
Pada suatu hari saat menghadiri acara kecil di tengah keluarga, salah seorang kerabat mengatakan bahwa salah satu alasan mengapa masih banyak masyarakat kita dengan sangat mudah digiring kepada pembentukan suatu opini sekalipun itu dengan maksud menipu adalah karena sudah sedemikian terbiasanya kita "menonton koran" dan "membaca televisi".
Maksud saudara saya ini, karena informasi yang diperoleh hanya dengan melihat judul berita di koran atau melihat judul berita yang menjadi sorotan di televisi, yang tampil menarik tapi juga sekaligus sering kali tidak sejalan dengan maksudnya untuk menyampaikan ringkasan informasi yang penting dan berguna setelah masuk makin dalam ke isi beritanya. Dalam hal ini, media sumber informasi mungkin tampil dengan moto "biar salah asal heboh".
Memutarbalikkan aktivitas menonton untuk koran dan membaca untuk televisi oleh kerabat saya itu adalah caranya yang paling halus untuk mengkritik secara keras rasa geramnya melihat sumber-sumber berita, baik media cetak, media daring, maupun media elektronik lainnya, hanya karena memikirkan kepentingannya semata terasa ikut membantu pembodohan kepada masyarakat yang sedang susah dan sering kali mudah jatuh kedalam salah kaprah.