Dalam pandangan masyarakat secara umum, khususnya di masyarakat dengan sistem patriarki, ada stereotip yang memandang bahwa memasak adalah salah satu fungsi atau tugas wanita. Namun, apakah memang demikian faktanya?
Kita bisa melihat mulai dari acara masak-memasak di rumah tangga. Ketika seorang ibu atau istri sakit, masih mungkinkah membebankan tugas memasak begitu saja kepada mereka? Bila demikian halnya, menjadi benarlah pendapat yang mengatakan bahwa perbudakan paling tua di atas muka bumi adalah penindasan terhadap wanita.
Kecuali bila memasak untuk makan di keluarga memang disiapkan oleh pembantu, atau segala sesuatu yang dimakan di keluarga memang dibeli dari luar dan bukannya dimasak, mustinya dalam situasi ibu atau istri tidak bisa memasak, semestinya bapak, suami, atau anak-anak, tidak terbatas laki-laki atau perempuan yang mengambil alih tugas untuk memasak.
Bila kita melihat ke berbagai tayangan tentang acara masak memasak di televisi, sering kali juru masak yang menjadi memperagakan cara-cara memasak dengan berbagai menu masakan dan beragam resep dibawakan oleh laki-laki.
Selanjutnya, bila kita menonton ajang pencarian bakat masak-memasak di televisi, dari tiga orang jurinya seringkali dua di antaranya adalah laki-laki. Kalaupun hanya satu di antaranya, maka laki-laki tidak jarang yang menjadi semacam juri kepalanya.
Kalau bukan karena keahliannya memasak, atau karena kejelian dan kecermatannya dalam mengenali seluk beluk bumbu masakan dan teknik pengolahannya, tidak mungkin seorang laki-laki mampu memberi penilaian yang tepat tentang cita rasa sebuah masakan, keculi bila ia memang berlagak ahli dan dipuja-puja tanpa perlu adanya alasan yang jelas. Itupun ciri masyarakat patriarki yang feodalistik.
Tanpa bermaksud diskrimintif terkait isu gender, apalagi merendahkan wanita, hubungan antara gender dengan mitos atau fakta terkait tugas siapakah sebenarnya memasak ini hanya untuk melihat sejauh mana kebenaran tentang fungsi memasak yang sering distereotip sebagai domain utama kaum wanita.
Kebenaran tentang masak-memasak yang mungkin juga jarang disadari, dapat ditemukan dalam sistem kekerabatan yang masih kental dengan nuansa adat.
Dalam sistem kekerabatan yang menganut sistem patriarki di masyarakat Karo, di mana garis keturunan dari laki-laki menjadi patron yang menentukan strata sosial seseorang dalam hirarki adat istiadat, biasanya para wanita yang bekerja untuk menyiapkan segala kebutuhan akan makanan selama acara berlangsung. Termasuk juga laki-laki yang berumah tangga dengan para wanita dari keluarga yang melaksanakan acara.
Jadi, bahkan dalam bentuknya yang paling tradisional dalam sebuah masyarakat adat pun tidak terjadi pembatasan tegas tentang fungsi memasak sebagai tugasnya kaum wanita saja. Laki-laki dan perempuan akan memasak pada waktunya.