Selesai mengikuti apel pagi pada hari ini, aku bergegas kembali ke rumah mengambil telefon genggam yang ketinggalan dengan berjalan kaki. Akhir-akhir ini, aku sudah sering sekali meninggalkan sesuatu tanpa sengaja, atau lupa menaruh sesuatu entah di mana. Apakah ini ada hubungannya dengan demensia yang datang terlalu dini, aku tidak tahu.
Padahal aku sering menulis di Kompasiana. Bukankah menulis dan menikmati kopi, katanya adalah dua hal dari sekian banyak cara untuk mencegah agar demensia tidak datang menimpa sejak dini?
Karena jarak ke rumah hanya sekitar 500 meter, aku hanya perlu berjalan kaki pulang balik 1 kilometer. Dalam perjalanan kembali ke kantor aku melihat seorang bapak dengan pakaian lusuh dengan dua anak balitanya. Sungguh, mereka bukan sedang berjemur saudara.
Karena tidak tega mewawancarainya terlalu dalam, aku tidak sempat menanyakan namanya. Aku sebut saja namanya bang Karoja, singkatan dari Karo dan Jawa. Dia adalah seorang keturunan suku Jawa yang sudah dianggap bermarga Ginting di keluarga mertuanya. Istrinya adalah seorang dari klan marga Tarigan. Kalau di adat budaya suku Karo, perempuan dari klan marga Tarigan di sebut Beru Tarigan. Istrinya wanita suku Karo dari marga Tarigan, begitulah singkatnya.
Karena isrtrinya Beru Tarigan dan aku adalah seorang bermarga Tarigan, jadi dalam sistem sosial budaya Karo, maka aku menjadi "Kalimbubu"-nya. Kalimbubu adalah pihak keluarga istri kita yang marganya sama dengan istri kita. Dalam pandangan hidup suku Karo, Kalimbubu disebut juga "Dibata ni Idah", artinya "tuhan yang tampak". Jadi dalam konsep falsafah hidup pun, Kalimbubu yang disebut sebagai "Dibata ni Idah" adalah sumber "Pasu-pasu" atau berkat (bahasa Indonesia) kepada pihak "Anak beru" atau menantunya. Kalimbubu adalah sejenis saluran berkat, demikian singkatnya
Tanpa maksud melakukan sinkretisme untuk mencampuradukkan konsep budaya dan agama, sebetulnya konsep "Dibata ni Idah" ini memiliki kesamaan hubungan dengan penemuan Paulus saat ia berkeliling dalam perjalanan penginjilannya di Kota Roma. Di sana, Paulus menemukan sebuah kuil dengan persembahan yang ditaruh pada altar dengan tulisan "Kepada Tuhan yang tidak dikenal".
Lalu bila ada Tuhan yang tidak dikenal, bukankah itu berarti menurut mereka ada tuhan-tuhan yang dikenal? Dalam artian konotatif, aku memaknai bahwa tuhan-tuhan yang dikenal menurut mereka itu adalah sebuah konsepsi falsafah hidup yang dibuat oleh manusia, sepanjang dan sejauh indera dan akal bawaannya sendiri mampu mendefinisikannya. Mungkin tuhan yang seperti itu dirasakannya lewat perbuatan-perbuatan konkret, mulai dari hal-hal yang kecil seperti kebaikan-kebaikan kecil setiap hari.
Seperti saat menyeberangkan seorang nenek tua di jalan raya yang ramai, memberi uang recehan ke pengamen dan pengemis yang kumal, hingga hal-hal yang besar, namun masih terselami oleh manusia, seperti yang tampak pada hujan, angin, petir dan awan-awan, yang sekalipun tampak digerakkan oleh kuasa yang besar, tapi masih mampu dijangkau ide dan akal manusia.
Namun, sering juga terjadi sesuatu yang secara ide dan akal bawaan tidak mampu lagi didefinisikan oleh manusia. Dalam bentuk yang seperti itulah barangkali orang Roma membuat sebuah kuil dengan altar persembahan bagi Tuhan yang tidak dikenal. Dari mana logikanya, misalnya seseorang yang sudah sangat disakiti tapi masih tetap mampu mengasihi dan mencintai, atau seorang yang sakit parah dalam kemiskinannya mendapatkan kesembuhan dari pertolongan seseorang yang tergerak hatinya untuk membantu. Dia, yang oleh orang Roma dulu disebut sebagai Tuhan yang tidak dikenal, justru terasa lewat tangan, kaki, mata dan hati manusia-manusia yang tergerak oleh cinta, oleh kasih.
Paulus sendiri adalah seorang Rasul dalam keyakinan Kristen, yang bukan murid Yesus. Sementara kota Roma yang dikunjunginya adalah sebuah pusat peradaban manusia yang hidup dengan pengaruh kuat filsafat Yunani, dimana sudah ada pengetahuan tentang gejala-gejala alam, pengetahuan sosial dan seni, serta dengan keyakinan kepada banyak dewa-dewi.
Bang Karoja dan istrinya sehari-harinya bekerja mengumpuli "botot" atau barang-barang bekas yang masih bisa dijualkan ke pengepul atau penampung barang-barang rongsokan. Hari ini aku melihatnya membawa sebuah karung goni plastik yang besar berisi botol-botol minuman kemasan yang barangkali dia kumpulkan dari jalanan dan dari tempat-tempat sampah yang dia lalui sambil menggendong si bungsu dan menuntun anak sulungnya, yang keduanya tampak luar biasa dengan sorot matanya yang berbinar.