"Mburo Ate Tedeh" adalah frasa dalam Bahasa Karo yang bila diterjemahkan bebas ke dalam Bahasa Indonesia bisa diartikan dengan temu kangen. Namun, dari asal katanya sendiri ada kontradiksi dalam pemaknaan ini secara langsung.
"Mburo" adalah aktivitas masyarakat agrikultur di mana seseorang, bisa anak-anak, remaja dan orang dewasa menghalau burung-burung pemakan biji-biji padi, mana kala bulir padi di sawah sudah mulai berisi hingga masa panen.Â
Mereka yang menghalau burung-burung di sawah ini, biasanya menarik tali-temali yang terangkai jadi satu yang pusatnya ada di dangau atau "pantar" dalam Bahasa Karo, yang terhubung ke tiang-tiang pancang nun jauh di sudut-sudut sawah yang luas, yang sudah dilengkapi dengan kaleng-kaleng kosong atau tiang pancang dengan orang-orangan sawah yang dipakaikan baju bekas hingga menyerupai pak tani berpakaian lusuh.
Petani yang menarik jalinan tali-temali yang terhubung ke tiang-tiang pancang itu akan menimbulkan bunyi klontang-klontang yang berasal dari kaleng yang saling berantukan, sambil meneriakkan suara-suara "...wayah e wayah, wayah e wayah..." Teriakan ini sendiri diabadikan oleh seorang almarhum komponis nasional legendaris dari Kabupaten Karo bernama Djaga Depari, menjadi sebuah lagu yang berjudul sama, Wayah e Wayah. Artinya kurang lebih sederhana, "hus...hus...pergilah burung, jangan makan padiku ini, hus...hus..." Begitulah kira-kira. Hehe.
Menjadi kontradiksi, dengan pengertian sederhana ini, bila kata "Mburo" yang bermakna harafiah "Menghalau" ditautkan dengan frasa "Ate Tedeh"Â yang bermakna "Rasa Rindu" atau "Rasa Kangen", sehingga "Mburo Ate Tedeh" menjadi bermakna "Menghalau Rasa Rindu" atau "Menghalau Rasa Kangen".Â
Sementara padanan katanya yang sering digunakan dalam Bahasa Indonesia adalah "Temu Kangen". Bagaimana pertemuan kangen bisa terjadi dalam sebuah aktivitas menghalau, bukankah menghalau rasa rindu atau kangen, harusnya berarti mengusir rindu atau kangen, bukan malah mempertemukannya.
Sedikit agak menjadi ribet memang, bila pemaknaan secara paralel kata-kata dari satu bahasa ke bahasa lainnya, dilakukan secara langsung tanpa melihat konteksnya. Barangkali dengan dasar itu pula mengapa segolongan orang yang sudah terbiasa menggunakan bahasa etniknya, merasa bahwa seringkali maksud yang ingin disampaikannya terasa tidak kesampaian maknanya bila disampaikan dengan bahasa lain. Memang tidak mudah menemukan padanan kata dari setiap bahasa yang merupakan keunggulan utama ras manusia dan yang membedakannya dari spesies lainnya.
Tidak kurang banyak pakar yang sepakat dalam kepelbagaian latar belakang keilmuannya, bila membahas segala soal tentang ras manusia akan tiba pada kesimpulan yang kurang lebih sama, bahwa bahasa manusia adalah salah satu ciri kompleksitas intelegensianya, yang menyebabkannya menjadi spesies yang secara khas mampu menggalang kesamaan rasa dalam jumlah yang sangat massif.Â
Lihat saja misalnya dalam sejarah Indonesia, tak kurang dari Sumpah Pemuda saja menempatkan Bahasa Indonesia menjadi salah satu unsur utama yang mampu mempersatukan semangat nasionalisme dan patriotisme Indonesia.
Tidak pernah kita dengar misalnya, ada serombongan gajah yang melakukan rapat para gajah dalam skala besar, sebesar warga satu kelurahan atau kecamatan misalnya, dengan maksud menyusun strategi penyerangan kebun ketela warga yang sudah menyinggung perasaan salah seorang dari anggota rombongannya.Â
Kalaupun saat ini, sering kita mendengar ada muncul koloni tawon yang hidup di permukiman warga, atau yang paling anyar misalnya berita mengenai bermunculannya berbagai jenis ular di permukiman warga di beberapa tempat di Indonesia, tapi semua itu mudah ditumpas oleh manusia. Bahkan tidak kurang, hanya seorang Panji dari acara Panji Sang Petualang, mampu memberikan bantuan kepada petugas pemadam kebakaran kota untuk menangkapi ular-ular berbisa itu dengan tampak mudahnya.