Pada 24 Maret 2004, seorang teman memberikan kepada saya sebuah artikel berjudul "Siapakah Teofilus Itu?" yang ditulis oleh Tarsis Sigho, yang beralamat di Taipe. Secara singkat di dalamnya dia menjelaskan pandangannya mengenai beberapa pendapat dari catatan-catatan lepas tentang nama Teofilus.
Sebagai sebuah tujuan surat yang tertulis di Kitab Injil Lukas dan Kisah Para Rasul, ada catatan yang menyatakan bahwa Teofilus adalah seorang yang mempunyai kuasa di Antiokia, sebuah tempat di mana orang-orang yang mengikut Yesus pertama kali disebut Kristen, yang tergerak hatinya setelah mendengar ajaran Rasul Petrus.Â
Namun, Tarsis berpendapat bahwa Teofilus, bila ditelisik dari akar bahasa Yunani Kuno yang membentuknya, terdiri dari asal kata Theos yang berarti Tuhan, dan kata Philos yang berarti Cinta.Â
Maka Teofilus, orang yang ditujukan oleh Lukas saat ia menulis suratnya bisa dikatakan juga berarti orang yang mencintai Tuhan, bukan hanya orang tertentu dengan nama itu, tapi the one who loves God.
Dalam pendapat Tarsis ini, kita perlu memperhatikan pandangan yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk pencinta, "Homo Amor."Â Benarkah bahwa kodrat manusia adalah tidak bisa tidak mencintai, baik Tuhan maupun sesama?
Lima belas tahun sejak artikel itu, bila membandingkan dengan beberapa pendapat lainnya yang berkaitan dengan keyakinan religius, maka ada beberapa kesesuaian sepanjang dan sejauh agama yang justru lebih sering mengakibatkan berbagai selisih pendapat dan pertikaian.Â
Jauh dari ciri yang paling masuk akal untuk dinampakkan oleh manusia yang dikatakan makhluk dengan kodrat tidak bisa tidak mencintai.
Yuval Noah Harari sendiri dalam "Homo Deus" berpendapat bahwa ciri pengetahuan Eropa pada abad pertengahan, terutama dalam pandangan kaum Skolastik, bahwa pengetahuan merupakan hasil perkalian kitab suci dengan logika.Â
Artinya bila salah satu saja di antara dua faktor perkalian itu bernilai nol, maka tidak ada pengetahuan. Pengetahuan didapat dengan banyak membaca teks kitab suci dan mempertajam logika untuk mampu memahami.
Selanjutnya, bila membandingkan dengan pandangan Ben Dupre dalam "50 Big Ideas You Really Need to Know", maka dalam gagasan tentang agama, ada 8 konsep gagasan inti yang berkaitan di dalamnya, yakni:
- Kejahatan, adakah kebaikan dalam kejahatan yang ada untuk kita? Jika semua kejahatan dicegah, banyak kebaikan akan absen dari alam semesta (Thomas Aquinas, 1265)
- Takdir, tangan besi yang tampak dalam otoritas seorang tiran untuk melakukan kejahatan dan alasan bagi orang bodoh untuk melakukan kegagalan (Ambroce Bierce, The Devil's Dictionary, 1911)
- Jiwa, sebuah misteri yang tidak bisa diharapkan dapat tersingkap oleh pikiran
- Iman, keyakinan yang membutuhkan akal budi. Akal budi adalah lengan kiri jiwa kita, iman adalah lengan kanannya. Dengan hal-hal inilah kita mencapai keilahian (John Donne, 1633)
- Fundamentalisme, ketika iman menjadi fanatik
- Ateisme, sesuatu yang melampaui keyakinan. Apakah manusia hanya suatu kesalahan besar Tuhan, atau Tuhan hanyalah suatu kesalahan besar manusia? (Frederich Nietzsche, 1888) Â
- Sekulerisme, tidak memikirkan Tuhan. Despotisme bisa memerintah tanpa iman (Alexis De Tocqueville, 1835)
- Paham penciptaan, ketika pandangan-pandangan tentang dunia saling bertabrakan. Sesuatu tentang ID, intelligent design.
Dari sekian banyak pandangan itu, mungkin secara umum selisih pendapat dan pertikaian terkait agama antara lain dalam model ketidakpastian apakah seseorang ateis atau agnostik, sebagaimana dijelaskan oleh Bertrand Rusell (1947). Atau pandangan yang mencela agama sebagai opium bagi masyarakat dari Karl Marx (1843). Atau pandangan tentang relativis dalam agnostik, bahwa tidak ada satu argumen pun yang konklusif dalam agama menurut biolog T.H. Huxley.