Demi memanfaatkan sedikit sisa waktu pada hari di mana saya akan kembali pulang dari Yogya, saya mengunjungi Keraton Yogyakarta dan Museum Kereta.
Saya memilih destinasi wisata budaya dan sejarah itu, selain karena dekat dengan tempat saya menginap, juga karena alasan khusus yang lain. Saya ingin bertemu dengan abdi dalem.
Alasan ini dilatarbelakangi oleh fakta sejarah yang baru saja saya ketahui, bahwa ternyata Sultan Hamengku Buwono (HB) IX adalah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tidak tanggung-tanggung, dia adalah PNS pertama di Indonesia. Sultan HB IX menjadi PNS terhitung mulai tahun 1940 yang lalu.
Abdi dalem adalah sebutan bagi orang yang mengabdikan dirinya kepada keraton dan sultan dengan mengikuti segala aturan yang ada. Sebagai pelayan keraton dan sultan, abdi dalem tidak mengenal hari libur.
Sebagai pelayan keraton dan sultan yang tidak mengenal hari libur, tentu saja abdi dalem sangat mengenal keseharian kehidupan sultan. Saya mengunjungi keraton, untuk mencari tahu sejauh mana para abdi dalem mengetahui fakta, bahwa sultan adalah juga seorang abdi nusa bangsa dan abdi masyarakat.
Sultan HB IX pernah juga menjabat sebagai Menteri Koordinator Ekonomi Keuangan dan Industri Republik Indonesia dalam kabinet Ampera, pada masa pemerintahan Presiden Sukarno. Selanjutnya, beliau juga pernah menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia pada masa Kabinet Pembangunan I, yakni pada masa-masa awal ketika Republik Indonesia dipimpin oleh Presiden Suharto.
Sultan HB IX dilantik menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia yang kedua pada 23 Maret 1973, dan menjabat hingga tahun 1978. Beliau lahir pada tahun 1912 dan meninggal pada tahun 1988 dalam usia 76 tahun. Dengan demikian, Sultan menjadi PNS pada usia 28 tahun.
Tentu saja, sesampainya di keraton saya tidak langsung sembarang menodong para abdi dalem dengan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin saja sama sekali tidak relevan dengan tugas dan peran mereka. Saya menyempatkan diri berkeliling keraton.
Saya sempat melihat-lihat Bangsal Mangunturtangkil, yang digunakan sebagai tempat pelaksanaan pelantikan Sultan. Aula ini terakhir digunakan pada saat pelantikan sultan yang "berkuasa" saat ini, Sultan HB X, pada 7 Maret 1989.
Sementara itu, di ruangan yang memajang foto-foto kereta kuda milik karaton, setidaknya ada 12 foto kereta keraton dengan berbagai bentuk dan ukuran. Di ruangan sebelahnya, ada foto-foto Sultan Keraton Yogya. Sultan yang pertama sampai yang ketiga tidak memiliki foto, maka di sana hanya terpampang foto Sultan IV hingga X.
Saya bertemu dengan seorang abdi dalem yang bertugas di museum kereta. Ia adalah pak Suhardi. Beliau menjadi abdi dalem sejak tahun 1978. Salah satu kenangannya terhadap Sultan HB IX, adalah ketika pada tahun 1985, Sultan menganugerahinya nama Mas Wedono Joyo Runtiko.
Mungkin, nama yang diberikan Sultan untuk pak Suhardi ini, bisa diartikan secara bebas, Camat yang diharapkan menjadi pagar kemenangan. Bukan main, besarnya kehormatan dan kepercayaan yang diembankan oleh Sultan di pundak pak Suhardi sebagai abdi dalem.
Namun, saat kami bertemu itu, Pak Suhardi yang sudah kelihatan uzur hanya bisa duduk di atas kursi roda. Ia menyapa ramah setiap pengunjung yang kebetulan lewat di depannya, apabila di antara mereka ada yang hendak mengarah ke ruangan yang memajang sebuah kereta tua yang bernama Kereta Kanjeng Nyai Jimad.
Ada fakta lain yang tidak kalah hebat, selain kenyataan bahwa Sultan HB IX adalah seorang PNS pertama di Indonesia. Dari Pak Suhardi saya mendapatkan penjelasan dan gambaran tentang fakta kehidupan para abdi dalem, yang mungkin tidak sepenuhnya patuh kepada hukum-hukum perubahan zaman.
Mereka, para abdi dalem itu, seperti bagian dongeng masa lalu, tapi masih tetap eksis dan hidup mengabdi hingga masa kini. Mungkin bisa dibilang, masa kini adalah masa dengan segala hal yang canggih dan modern, tapi juga pongah dan tidak ramah. Namun, tidak demikian dengan para abdi dalem.
Sejak pertama kali diangkat hingga saat ini, Pak Suhardi dalam pengabdiannya telah mendapatkan 4 (empat) kali kenaikan gaji. Kenaikan pertama, adalah setelah 10 tahun mengabdi yakni pada tahun 1988, ia digaji Rp. 13.500/ bulan.
Kenaikan kedua, setelah 20 tahun menjadi Rp. 17.000/bulan. Kenaikan ketiga, setelah 30 tahun menjadi Rp. 22.000/bulan. Kenaikan keempat dan itu yang masih berlaku hingga sekarang, setelah 40 tahun ia mengabdi ia sekarang digaji Rp. 27.500/bulan.
Kata Mas Suhardi, keraton Yogya didirikan pada tahun 1756. Kalau untuk kereta kencana, menurut pengetahuannya, yang paling tua saat ini ada di Belanda, itu adalah sebuah kereta yang dibuat sekitar tahun 1740 hingga 1750.Â
Maka, bersama-sama dengan Belanda dan Inggris, Yogyakarta saat ini tercatat sebagai negara/ kota yang masih memiliki koleksi kereta-kereta kencana kuno yang gagah, cantik, antik dan artistik. Sebagaimana kereta Garuda Yaksa yang menurut Pak Suhardi adalah kereta yang dibuat pada tahun 1861, dan masih terawat sampai sekarang. Kereta ini, harus ditarik oleh kuda putih, dan hanya dipakai untuk penobatan Sultan.
Dia masih mengingat dengan baik, bahwa kereta itulah yang dipakai saat pelantikan Sultan HB X pada 7 Maret 1989, sekitar jam 10 pagi katanya.
Bukan soal presisi kebenaran semua pernyataan yang dia ucapkan dan aku catat, tapi tutur kata dalam jawaban-jawabannya yang mengalir lancar terkait segala hal yang saya tanyakan atas hal-hal yang dia kerjakan sebagai abdi dalem, memberiku kesimpulan bahwa ia sangat menghayati dan menghormati pekerjaannya.
Untuk mengatakan, bahwa ia sangat menikmati pekerjaannya aku tidak berani memastikannya, dengan tingkat gaji seperti yang ia terima. Mungkin lebih tepat kalau aku mengatakan bahwa ia sangat mampu mensyukurinya.
Dalam perjalanan pulang saat menuju bandara Adisutjipto, supir taksi online yang saya tumpangi mengatakan bahwa Upah Minimum Regional (UMR) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memang cukup rendah bila dibandingkan dengan kota-kota besar dan kota-kota wisata lainnya di Indonesia. "UMR di sini hanya Rp. 1.700.000 bang, tapi untungnya biaya hidup juga cukup murah di sini," katanya.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum. UMR itu mungkin rendah menurut Mas Leo, supir Grab. Namun, jelas itu lebih tinggi 61 kali lipat dibandingkan gaji Mas Suhardi setiap bulannya.
Kubandingkan dengan diriku dan kenyataan masyarakat di kampung halamanku, apa yang kami lakukan dan bagaimana kami hidup di sana. Lalu kuingat Pak Suhardi yang tadi pagi kujumpai di museum kereta. Ia dan keluarganya mungkin tinggal pada rumah di atas tanah yang diberikan Sultan dengan hak pakai secara cuma-cuma.
Namun, pasti juga ia punya keluarga dan anak-anak dengan beragam impian dan cita-cita yang ingin dia wujudkan. Ia dan keluarganya juga bisa sakit dan menghadapi persoalan hidup. Di sisa perjalanan, aku hanya terdiam hingga tiba di bandara.
Baca juga: Sultan HB IX, PNS Pertama Indonesia, Sosok Pelopor Reformasi Birokrasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H