Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membaca Dialektika Materialis Seni Pembebasan Saat Mampir di Salihara

5 September 2019   17:19 Diperbarui: 5 September 2019   18:28 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suatu Ketika di Salihara (dokpri)

Maka tidak mengherankan, bila mereka yang dinyatakan atau menyatakan diri sebagai kaum cerdik cendikia atau cendikiawan yang sehari-harinya bergelut dengan beragam pengetahuan, ternyata ada yang menampilkan dirinya lebih tampak sebagai politisi atau politikus.

Bukankah Nietzsche sendiri mengatakan bahwa pengetahuan adalah suatu bentuk kehendak untuk berkuasa? 

Menurutnya "ide tentang pengetahuan murni tidak dapat diterima, karena nalar dan kebenaran tidak lebih dari sekedar sarana yang digunakan oleh ras dan spesies tertentu. Kebenaran menurut Nietzsche bukanlah sekumpulan fakta, karena kemungkinan yang ada hanyalah interpretasi, dan tidak ada batasan bagaimana dunia diinterpretasikan. Jika kebenaran memiliki sandaran historis, maka ia merupakan konsekuensi dari kekuasaan."

Kenyataan tentang sebagian cendikiawan di atas, bila dikombinasikan dengan pendapat Nietzsche, menjelaskan bahwa di manapun, keberpihakan atau afirmasi kekuasaan akan selalu diiringi oleh resistensi, meskipun dalam bentuk dan gradasi yang berbeda-beda.

Bila kita lihat realitasnya, memang banyak juga pimpinan-pimpinan dunia adalah juga cendikiawan, terlepas apakah dia akademisi atau bukan. Mungkin realitas itu menunjukkan bahwa pada dasarnya memang tidak ada manusia yang netral, dengan kata lain manusia sudah lahir dengan ide bawaan untuk berkuasa. 

Ditambah lagi dengan pengalaman yang mengiringi perkembangannya, yang membedakan manusia yang satu dan yang lainnya hanya orientasi keberpihakannya.

Politik dalam cerita ini tentulah politik praktis. Kalau begitu, mungkin memang lumrah bila kita memahami bahwa kehendak berkuasa itu sebagai hal yang kodrati bagi manusia. 

Yang penting untuk diwaspadai mungkin adalah agar yang menjadi pemimpin-pemimpin itu jangan sampai menjadi yang bukan cendikiawan dan bukan juga politisi atau cendikiawan bukan bukan atau politisi bukan-bukan.

Ini hanya ingin menegaskan secuil harapan, bahwa menjadi cendikiawan dan politisi atau politikus pada dasarnya sama sekali tidak buruk. Pada dasarnya semua hal adalah baik. 

Karena yang buruk dan yang baik itu tidak pernah menjadi masalah saat adanya di dalam hati dan pikiran, apa yang keluar dari hati dan pikiran yang menjadi ucapan dan tindakanlah yang menjadi sumber semua masalahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun