Di antara para seniman dalam rentang 1963-1964, yang mencakup penulis, pelukis dan komponis, sebagian yang punya kesukaan filsafat, membaca atau mengikuti ceramah, seperti ceramahnya Wiratmo tentang bahaya "pengkhianatan intelektual."Â
Itu adalah sebuah bahaya ketika para cendikiawan ikut membakar atau ikut terbakar oleh "nafsu politik," nafsu untuk memperoleh kedudukan, untuk berkuasa.
Ada sebuah tulisan dari Goenawan Mohamad sebagai suatu bentuk pendefinisian sikap dasar dari beberapa sastrawan dan intelektual Indonesia dalam menghadapi masalah yang akut pada waktu itu.Â
Menurutnya, hubungan antara kreativitas dan politik masih layak untuk diikuti sebagai telaah, setidaknya sebagai bahan telaah sejarah gagasan di Indonesia hingga saat ini. Saya membacanya dari Dialektika Materialis Seni Pembebasan pada suatu ketika, saat mampir di Salihara.
Cendikiawan seperti apakah yang dimaksudkan oleh Wiratmo? Mungkin cendikiawan, mungkin juga bukan atau bisa dikatakan cendikiawan bukan bukan. Maksudnya adalah ia mungkin bukan cendikiawan melainkan politisi.
Dalam bahasa seni dan sastra, untuk mengartikan apa yang disampaikan oleh Wiratmo dalam ceramahnya tentang bahaya "pengkhianatan intelektual" itu harus dipertimbangkan terkait sosok Wiratmo sebagai seniman yang memilih jalur kritis dan non partisan.Â
Bagi rekannya sesama seniman yang partisan, dia dianggap elemen yang harus dimusnahkan karena tidak bisa dijinakkan dan tidak mau menyerah.
Wiratmo merasa pengkhianatan intelektual itu berbahaya karena itu adalah pengkhianatan dari seseorang yang yang cerdas secara kognitif, tapi kecerdasannya tidak diimbangi dengan kecerdasan sosial dan kultural.Â
Bagi cendikiawan yang bukan bukan, bukan menjadi masalah besar walaupun harus terlihat sakit secara sosial dan kultural, Â sepanjang kebutuhannya untuk memperoleh kedudukan dan kekuasaan bisa dipenuhi.Â
Entah potensi ancaman seperti apa saja yang bisa muncul dari sosok yang seperti ini. Barangkali itu seperti seorang pendekar berbadan kekar tanpa penglihatan dan pendengaran, dengan sebilah pedang terhunus yang teracung-acung di genggamannya.
Mungkin juga itu adalah hal yang lumrah, bukankah kodratnya manusia untuk tidak bisa terlepas dari kepentingan politik? Kehendak untuk berkuasa adalah kodratnya manusia.Â