Ini adalah sebuah catatan tentang kesadaran yang dituliskan dari sebuah sudut tempat di kaki gunung. Kesadaran yang sudah mau tumbuh tadi pagi, tapi sayang sepanjang musim berganti, ia sepertinya akan segera layu setiap menjelang sore hari.
Kesadaran yang ditanam dengan harapan semoga bisa makin bertumbuh, tapi nyatanya layu sebelum berkembang. Anak-anak diajari cara membuang sampah ke tempatnya, mengantri di tempat-tempat umum, dan berharap ia yang ada di bangku TK, SD, bahkan SMP dan SMA, diharapkan tahu cara membuang sampah yang baik dan cara mengantri di tempat umum, alih-alih mengajarkan mereka matematika, tapi ternyata hingga guru-gurunya masih saja membuang sampah sembarangan dan tetap saling serobot di tempat-tempat umum.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa apabila kecerdasan intelektual tidak dibarengi dengan kecerdasan sosial dan lingkungan, maka kesadaran dan kecerdasan itu hanya menjadi kesia-siaan.
Di tempat lain, bukan di kaki gunung ini, saya mendapatkan cerita tentang dongeng dan novel yang banyak lahir dari mereka yang di Skandinavia. Mungkin, mereka lebih sehat secara sosial dan sehat secara lingkungan. Mungkin, itulah penanda hubungan yang saling mempengaruhi terkait majinasi dan kesehatan lahir batin, sejak masa anak-anak yang tumbuh dan berkembang baik.
Kita di sini harus mempunyai rasa sabar yang cukup. Kalau mau sehat, sabarlah untuk tetap mengutip sampah-sampah yang dibuang sembarangan oleh sesama kita, yang mungkin jauh lebih muda. Anak-anak itu hanya tertawa cekikikan, alih-alih merasa tertegur. Ya, mereka hanya anak-anak, anak-anak yang pergi ke sekolah setiap hari. Setelahnya, mungkin mereka masih mengikuti les tambahan mata pelajaran di sore hari.
Tidakkah ini pertanda, kalau-kalau bokong orang-orang kita di sini sudah kelewat besar dari ukuran semestinya? Bergeser barang sedikit sajapun untuk membuang sampah ke tempatnya kita merasa sudah terlalu letih.
Mungkin perjuangan orang tua selanjutnya kini, lebih berat untuk mengajari anak-anak menjaga lingkungan ketimbang mengajari mereka mengejar nilai-nilai bagus di rapornya. Mereka perlu belajar begitu, karena merekalah ahli waris dari bumi yang sudah dan sedang rusak ini.
Salahnya, kebiasaan buruk sudah terlalu lama dibiarkan berkembang sejak dari dulu. Kebiasaan itu telah tumbuh seakan menjadi bentuk jelek dari karakter dan budaya yang buruk kini.
Mungkin titik berangkat terdekat untuk memulainya, adalah dengan bersama-sama menghentikan kebiasaan buruk itu dari diri kita sendiri. Diri sendiri, tapi bersama-sama.
Catatan dari penutupan even Asian Games Jakarta-Palembang yang lalu, menunjukkan fakta bahwa orang-orang Indonesia memuji-muji suporter Jepang yang memunguti sampah-sampah di bangku-bangku venue pertandingan berbagai cabang olah raga Asian Games. Bahkan sampah-sampah di bangku-bangku yang bukan tempat duduk mereka sendiri. Itu menunjukkan bahwa orang-orang Indonesiapun mengetahui bahwa menjaga kebersihan itu baik, indah, bahkan sebagian dari iman. Itu katanya, di negeri yang sangat religius ini.
Lalu, kalau kita mengetahui arti pentingnya dan memuji oran-orang Jepang itu, namun masih juga membuang sampah sembarangan di rumah kita sendiri, maka itu adalah fakta tentang kebebalan, kenekadan dan ketidakpedulian kita.