Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Aristokrat Kampung Bertanya pada Rumput Kota yang Bergoyang

2 Juni 2019   12:02 Diperbarui: 2 Juni 2019   13:34 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya membeli rumput untuk ditanam di halaman rumah berukuran 2x7 meter. Untuk itu saya membeli sejumlah 5 meter rumput di sebuah kota, berjarak 70 km dari kampung tempat tinggal kami. Penjual mematok harga sebesar 14.000 rupiah permeter nya. Kata penjualnya, rumput itu dinamakan rumput gajah mini, tahan diinjak-injak, tidak tumbuh ke atas, melainkan kesamping, sehingga cocok untuk ditanami di halaman rumah.
Oleh karena keinginan menanami rumput di halaman itu, mungkin saya juga termasuk orang yang mewarisi apa yang oleh Yuval disebut sebagai "kargo kultural" dari beragam tradisi warisan masa lampau. Tradisi menanam rumput ini diwariskan kepada kita oleh para pangeran Eropa dari abad pertengahan, oleh para dedengkot kapitalis.
Namun, karena ukuran halaman yang kecil, mungkin saya mewarisi hanya sebagian kecil muatan kargo kultural dalam kadar yang kecil. Mungkin juga bisa menjadi alasan untuk mengatakan bahwa yang saya warisi adalah tradisi kultur alternatif dalam bentuk sebuah kebun cantik ala Jepang. Tapi itupun tidak menghapus kenyataan kalau saya juga mungkin sedang berusaha untuk menjadi aristokrat kecil masa kini. Sesuatu yang oleh Nietzsche disebut sebagai natur manusia, sekuat apapun ia menyangkalnya, yakni kehendak untuk berkuasa.
Ide menumbuhkan rumput di jalan masuk ke hunian pribadi dan gedung-gedung publik, lahir di kastel-kastel kaum aristokrat Prancis dan Inggris pada akhir abad pertengahan. Pada awal era modern, kebiasaaan ini mengakar kuat, dan menjadi lambang kebangsawanan.
Semakin luas halaman rumput yang terawat, semakin banyak membutuhkan lahan dan pekerja, terutama pada hari-hari sebelum mesin pemotong rumput dan penyemprot air otomotis bekerja. Padahal, lahan-lahan rumput itu tidak menghasilkan sesuatu yang bernilai, selain sebagai sebuah simbol kehendak untuk berkuasa.
Halaman rumput tidak untuk lahan beternak, tidak untuk bertani, itu (memiliki halaman berumput) hanya menjadi simbol yang tidak bisa dipalsukan oleh siapapun, sekaligus memaklumkan dengan tegas kepada siapapun yang lewat bahwa pemiliknya sangat kaya dan kuat, dan punya banyak tanah dan hebat. Oleh Yuval dalam Homo Deus dikatakan "Jika kita melihat halaman rumput di rumah seorang pangeran sedang buruk, kita tahu dia sedang mengalami kesulitan."
Baca juga: https://www.kompasiana.com/teotarigan/5c32912fbde575714c4c4a97/plogging-etika-ekologi-alternatif-kontra-sejarah-ringkas-halaman-rumput
Disinilah paradoks yang saya temukan dalam kenyataan hubungan antara rumput, dan ironi kesenjangan antara kampung dan kota.
Ketika saya salah menduga banyaknya rumput yang dibutuhkan untuk halaman kecil itu, saya masih membutuhkan sebanyak 7 meter rumput lagi untuk menanami keseluruhan halaman rumah. Pikiran saya awalnya, toh rumputnya tumbuh kesamping, maka rumput yang 5 meter yang telah dibeli sebelumnya akan segera tumbuh berkembang memenuhi seluruh halaman.
Karena malas membeli kembali ke kota yang 70 km dari kampung itu, hanya demi 7 meter rumput tambahan seharga 14.000 permeternya, maka saya mencoba mencari-cari di sekitar kampung halaman. Barangkali, kampung yang terkenal dengan pertaniannya, serta tanaman buah-buahan dan bunga-bunga, maka tidak akan sulit menemukan rumput di sini, pikirku.
Namun, dugaanku salah. Ada dua penjual bunga yang aku datangi, ternyata mereka menjual rumput yang bernama gajah mini itu dengan harga selangit. Salah satunya menjual seharga 60.000 permeter, sementara yang satu lagi seharga 120.000 permeter, itupun rumputnya mereka pesan dari kota tempat dimana aku membeli rumput sebelumnya.
Ini ironis sekali! Bagaimana sebuah kampung yang terkenal dengan pertanian, justru memasok kebutuhan akan tumbuh-tumbuhan justru dari kota! Bagaimana logikanya, kampung dengan lahan pertanian yang lebih luas dari kota justru membeli kebutuhan sayur-mayurnya dari kota, dan kemudian menjualkan kembali kepada warga kampung dengan harga yang jauh lebih tinggi dari pada di kota. Apakah kenyataan ini menunjukkan bahwa orang kampung mungkin lebih kaya dari pada orang kota?
Ironi di atas hanya sebuah contoh kecil dari berbagai contoh lainnya yang dapat menjelaskan mengapa di kampung orang-orang kelihatan lebih tertinggal dalam kemiskinan dan dalam kebodohan. Bukan karena mereka miskin dan bodoh, tapi karena kota membodohi kampung, dan bahkan warga kampung yang sering ke kotapun membodohi sesamanya sendiri.
Kalau dicontohkan dalam kebutuhan bidang lain, misalnya kebutuhan material bangunan yang dibutuhkan dalam membangun rumah di kampung. Bahkan untuk pasir, batu, apalagi batu-batu hias, orang kampung yang tinggal di gunung pun membawa batu gunung dari kota ke kampungnya yang digunung.
Memang tidak semua hal ada di kampung. Bagi komoditi yang hanya ada di kota, terkadang kesulitan geografis memberikan landasan logis bertambahnya harga terkait komponen biaya pengangkutannya. Tapi bahkan bagi sebagian besar hal yang ada di kampung pun, kota lebih berhasil memberikan apa yang kampung tidak bisa berikan, yaitu nilai tambah atas apa yang ada.
Kalau di kampung, nasi goreng dihargai 25.000 rupiah seporsi, maka dengan porsi dan isi yang nyaris sama atau bahkan lebih, di kota bisa seharga 15.000 rupiah saja. Kalau di kampung, rumput dijual seharga 60.000-120.000 permeternya, maka dengan kualitas yang bahkan lebih baik, rumput di kota dijual bisa hanya seharga 13.000-14.000 permeternya.
Lalu, kalau kemudian masih kita bertanya kenapa kampung lebih ketinggalan dari kota, atau kenapa kampung terlihat lebih miskin dari kota, maka kita orang-orang kampung perlu bertanya pada rumput yang bergoyang. Itupun kalau kita masih memiliki lahan bercocok tanam di kampung. Sebab jangan-jangan, saat ini kota sudah bertani lebih baik dari pada kita, kita yang di kampung bisa saja sudah lebih memilih membajak sesama sendiri lewat harga-harga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun