Dalam perjalanan kembali ke kantor, selepas menggandakan surat-surat dari sebuah toko percetakan, saya baru tahu dari siaran stasiun radio lokal kesayangan, yang sudah akrab di telinga sejak masa kanak-kanak di kampung, bahwa hari ini, sehari setelah hari pendidikan nasional, stasiun Radio Bahana Kusuma (RBK), yang mengudara pada frekwensi 98,9 FM, berulang tahun yang ke-36 pada tahun ini. Selamat ulang tahun, radio RBK.
Lalu apa hubungan radio dan pendidikan? Awalnya saya merenung, karena ini adalah perjalanan seorang diri maka ada banyak waktu untuk banyak termenung, dipicu oleh sebuah tembang lawas dari vokalnya Betaria Sonata.Â
Ia adalah seorang artis kondang, penyanyi ibu kota kesenangan bapak-bapak, mamak-mamak, sekaligus anak-anak tempo doeloe. Mungkin saat ini, di ulang tahun ke-36 stasiun radio ini, anak-anak tempo doeloe itu kebanyakan sudah juga menjadi bapak-bapak dan mamak-mamak. Judul lagunya, "Untuk Sebuah Nama", ciptaan Pance Pondaag.
Tertarik memikirkan hubungan antar peradaban terkait "nama", maka setidaknya ada satu perbedaan sudut pandang antara suku bangsa Austronesia yang meliputi sebagian besar wilayah Asia termasuk Indonesia, dengan suku bangsa Kaukasoid yang meliputi mayoritas masyarakat Eropa.Â
Setidaknya lagu pop berbahasa Melayu "Untuk Sebuah Nama" dari Betaria Sonata yang memaknai nama sebagai sesuatu yang penting sehingga patut diperjuangkan, sangat bertolak belakang dengan ungkapan William Shekespeare, sastrawan Inggris, yang menyatakan "apalah arti sebuah nama."
Dari catatan seorang arsiparis berkebangsaan Belanda, bernama Tuan L, yang membenamkan dirinya dalam penjara arsip yang sunyi, dingin dan lembab, s'Landscharchief, di Batavia pada zamannya (ANRI sekarang), diketahui bahwa sejak abad ke-14 Masehi bangsa Nusantara di masa kerajaan Majapahit yang diperintah oleh raja Hayam Wuruk, telah mampu menulis syair dengan bahasa dan tulisannya sendiri. Setidaknya ada penyair sekelas Mpu Tantular dan Mpu Prapanca yang menulis syair Negarakertagama.
Pada masa yang sama, sebagian besar orang-orang Belanda di Nederland sana, yang kemudian datang menjajah Nusantara, mungkin masih belajar mengeja kalau tidak sopan mengatakan masih buta huruf. Namun, dari syair-syair itu jugalah bangsa yang besar di masa kejayaan kerajaan Majapahit ini, diketahui sebab-sebab kemunduran peradabannya. Paling tidak ada satu sebab yang dapat diketahui dari syair-syair itu, bahwa bangsa ini terlalu mudah terbawa arus umum ke arah kompromi, dan melupakan prinsip-prinsip hidup.
Bangsa di Nusantara ini berbeda-beda, namun mereka disatukan dengan niat agar tidak ada pertentangan. Barangkali istilah yang cocok untuk kondisi ini, dari hampir semua suku bangsa yang mendiami tanahnya, bahwa titah raja adalah hukum, rakyat jelata adalah kawula yang jangan sekali-kali mencoba menentangnya. Celakanya, dengan begitu rakyat jelata yang adalah kawula menjadi terbiasa hidup meninggalkan prinsip hidupnya sendiri, demi kepatuhan magis yang tidak tersangkalkan.
Nusantara kemudian kedatangan "tamu baik" dari peradaban lain, di benua Eropa, dalam muka penjajahan, yang mana mereka justru adalah bangsa yang kukuh pada prinsip. Walaupun mereka kalah dalam jumlah, tapi mereka menang dalam memegang teguh prinsip.
Mereka adalah bangsa dengan beragam ilmu dan pengetahuan. Sementara, didorong oleh balas budi karena telah memerah nyaris habis bumi Nusantara, mereka mulai mendidik bangsa pribumi dengan beragam ilmu dan pengetahuan yang mereka miliki. Banyak bangsa pribumi yang akhirnya mabuk dengan pendidikan ala Eropa.Â
Maka, sebagaimana kalimat Pramoedya Ananta Toer, mabuk pendidikan terasa bagai candu, di samping memperpanjang deretan gelar pada nama-nama pribumi yang pendek-pendek ini, ada juga yang benar-benar mengejarnya sehingga lenyaplah kecintaan pada kebebasan. Bahkan pada masa itu, tidak jarang ada pribumi terpelajar yang menjajah saudara sendiri demi kebebasannya sendiri.