Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Bumi Kini, Masihkah Tak Ada Gading yang Tak Retak?

23 April 2019   14:12 Diperbarui: 23 April 2019   17:57 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bumi terlihat hanya sebentuk noktah kecil di antara galaxy (Sumber: World and Science)

Pada akun twitter World and Science @ WorldAndScience, Bumi, yang digambarkan sebagai sebuah titik kecil berwarna biru di antara luasnya galaksi, didefinisikan sebagai: "tempat dimana semua orang yang kita cintai, semua orang yang kita kenal, semua manusia yang pernah hidup, tinggal di dalamnya." "Everyone you love, everyone you know, every human being who ever was, lived out their lives on this little blue dot."

Pada tanggal 22 April 2019 yang lalu, orang-orang dari 175 negara di dunia memperingati Hari Bumi, yang dikoordinasikan secara global oleh Jaringan Hari Bumi (Earth Day Network). Dilansir dari laman wikipedia, bahwa Hari Bumi adalah hari pengamatan tentang bumi yang dicanangkan setiap tahun pada tanggal 22 April dan diperingati secara internasional. Hari Bumi dirancang untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap planet yang ditinggali manusia ini.

Peringatan ini, awalnya dicanangkan oleh senator Amerika Serikat, Gaylord Nelson, pada tahun 1970.  Ia adalah seorang pengajar lingkungan hidup. Tanggal ini bertepatan pada musim semi di Northern Hemisphere (belahan Bumi utara) dan musim gugur di belahan Bumi selatan. PBB sendiri merayakan hari Bumi pada 20 Maret, sebuah tradisi yang dicanangkan aktivis perdamaian John McConnell pada tahun 1969. Ini adalah hari di mana matahari tepat di atas khatulistiwa yang sering disebut Ekuinoks Maret.

Sebagai titik kecil dalam susunan galaksi Bimasakti, dimana semua hal yang bisa dipikirkan maupun yang diluar jangkauan manusia berlangsung di dalamnya, apa yang terjadi dengan Bumi kini dan yang akan menimpa Bumi nanti?

Diberitakan oleh KOMPAS.com, edisi Selasa, 15 Januari 2019, sebuah hasil penelitian ilmiah terkait kehidupan gajah hari-hari dewasa ini, dengan judul "Sering Diburu oleh Manusia, Gajah Beradaptasi Lahir Tanpa Gading." Demi merebut gading gajah yang dipercaya memiliki kekuatan untuk menyembuhkan berbagai penyakit, meningkatkan kejantanan, kekuatan, dan kesuburan, para pemburu liar dengan keji menembaki gajah, sehingga sangat kecil peluang bagi mereka untuk mempertahankan diri atau melarikan diri.

Barangkali begitulah yang terjadi dengan bumi dan makhluk hidup yang ada di dalamnya. Demi menghindari bahaya, bumi dan makhluk hidup yang ada beradaptasi guna menghindari bahaya yang mengancamnya. Bukan tidak mungkin bahwa bumi berguncang, tanah longsor, tanah amblas, banjir dan lain sebagainya yang kita namakan bencana alam dan mengakibatkan kehilangan jiwa dan harta benda pada manusia adalah bentuk adaptasi bumi untuk mencapai keseimbangannya yang baru. Sama halnya dengan munculnya hewan-hewan atau spesies-spesies lainnya yang tidak pernah dikenal sebelumnya, bahkan ada juga muncul manusia tidak saja berbeda dalam fisik, tapi juga berbeda dalam jiwa dan mentalnya dari yang pernah dikenal sebelumnya.

Evolusi ini, yang menghasilkan manusia yang berbeda fisik, jiwa dan mentalnya dari yang pernah dikenal sebelumnya, barangkali adalah upaya adaptasi manusia guna menghindari bahaya yang mengancamnya, yang datangnya justru dari sesamanya sendiri yang telah bermutasi menjadi predator. Manusia yang memangsa sesamanya sendiri, homo homini lupus.

Maka menjadi tidak mengherankan, bagaimana gajah yang bergading dihabisi oleh manusia pelaku perburuan liar, sehingga hanya menyisakan gajah yang tidak bergading. Gajah-gajah punya cara tersendiri untuk melawan perburuan liar. Gajah mulai beradaptasi dengan melahirkan anak-anak tanpa gading. Temuan ini berdasarkan pada penelitian di Taman Nasional Gorongosa, Mozambik yang dipublikasikan di National Geographic (kompas.com)

Bahkan peribahasa dan ungkapanpun berubah dalam bumi yang berubah. Kalau dulu ada peribahasa yang mengatakan "Gajah mati meninggalkan gading," maka saat ini gajah bahkan terancam lahir tanpa gading. Atau peribahasa Indonesia yang sudah sangat umum, yang mengatakan bahwa "Tidak ada gading yang tidak retak," yang maknanya kurang lebih bahwa tidak ada seorangpun yang luput dari kesalahan. Maka kini gading yang cacat atau patah sepenuhnyapun terancam tidak akan ada lagi. Apakah itu juga bermakna bahwa manusia memang sudah sepenuhnya berubah? Gading hanya tinggal menjadi riwayat dan fisiknya hanya sekadar hiasan mati yang menghiasi ruang-ruang tamu, lobby hotel dan ruang-ruang jamuan para pejabat?

Kalau kita tidak setuju dengan kenyataan dan kemungkinan itu, maka barangkali pendapat Stephen Hawking, fisikawan dan filsuf kontemporer dari Inggris yang menemukan teori Big Bang, asal usul alam semesta, patut kita renungkan dalam memperingati hari bumi tahun ini. Ia mengatakan bahwa "Semesta kurang berarti apa-apa jika tidak menjadi rumah bagi orang-orang yang anda cintai."

Bumi bisa menjadi rumah bagi semua bila ada cinta kasih yang melandasinya, karena cinta adalah pengikat yang menyatukan dan menyempurnakan. Mencintai bumi sama halnya dengan mencintai sesama, mencintai lingkungan, mencintai makhluk hidup dan seluruh keutuhan ciptaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun