Pada sebuah kesempatan menarik diri ke dalam kesunyian alamiah gugusan Taman Hutan Raya Bukit Barisan di Retreat Center GBKP, Desa Sukamakmur, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deliserdang, Provinsi Sumatera Utara, bersama keluarga dan serombongan anak remaja, kami mendapatkan sebuah perenungan meditatif yang dibawakan oleh seorang pendeta.
Mengapa tidak? Karena kita hidup di sebuah dunia dengan manusia-manusia yang tidak pernah berhenti saling merundungi, atau dirundungi. Inilah dunia yang penuh dengan bullying.
Menyingkat contoh perbedaan antar periode, cukup dengan membandingkan antara generasi baby boomers dengan generasi Z saja, yakni masa dimana para orang tua anak-anak remaja ini lahir dan dibesarkan dan masa dimana anak-anak milenial kita lahir, besar dan hidup, maka tidak kurang banyak contoh bagaimana kita hidup diantara sekian banyak perundungan.
Kalau pada masa orang tua kita yang lahir pada masa dimana sumber hiburan dan informasi hanya dari membaca koran dan mendengar radio, maka perundungan juga hanya mungkin terjadi selama koran dibaca atau radio belum berhenti mengudara.Â
Sementara itu, pada masa kini di mana manusia hidup pada sebuah desa global, dimana sekat dan batas-batas hampir sudah tidak ada dengan pengaruh teknologi informasi, maka perundungan sangat mungkin terjadi sepanjang hari selama hidup, selama manusia itu terhubung ke internet. Desa global kini berada dalam genggaman melalui telefon pintar.
Menjelang tidurpun manusia sekarang biasa melihat perundungan, atau melakukan perundungan, atau mengalami perundungan melalui media sosial pada telefon pintar di genggamannya. Sumber hiburan adalah sekaligus sumber perundungan di masa ini.Â
Dunia menjadi terbiasa mem-viralkan tidak saja kebaikan, tapi juga keburukan. Dunia menjadi terbiasa menertawakan kekurangan, yang membuat penderitaan menjadi komoditi ekonomi lewat lelucon yang dikomersilkan, dan kebanyakan manusia kalau bukan seluruhnya, ikut menikmatinya.
Siapa yang tidak melakukan bullying, kalau ternyata ada bapak kandung yang mampu menodai anak gadisnya sendiri, atau kalau ternyata guru adalah pelaku utama kekerasan kepada anak muridnya di sekolah?
Mungkin hanya pada manusia ada terungkap tugas untuk memanusiakan manusia, karena ternyata hanya manusia yang memiliki bakat untuk malu menjadi dirinya sendiri. Belum pernah terdengar bahwa ada monyet yang malu menjadi monyet.