Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Manusia Perlu Berdamai dengan Dirinya dalam Dunia Penuh Perundungan

14 April 2019   07:13 Diperbarui: 14 April 2019   12:46 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Chapel di Retreat Center GBKP-Sukamakmur (dokpri)

Pada sebuah kesempatan menarik diri ke dalam kesunyian alamiah gugusan Taman Hutan Raya Bukit Barisan di Retreat Center GBKP, Desa Sukamakmur, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deliserdang, Provinsi Sumatera Utara, bersama keluarga dan serombongan anak remaja, kami mendapatkan sebuah perenungan meditatif yang dibawakan oleh seorang pendeta.

Retreat GBKP Musik Tiup-Sorapardis di Sukamakmur (13-14/04/2019 - dokpri)
Retreat GBKP Musik Tiup-Sorapardis di Sukamakmur (13-14/04/2019 - dokpri)
Retreat GBKP Musik Tiup-Sorapardis di Sukamakmur (13-14/04/2019 - dokpri)
Retreat GBKP Musik Tiup-Sorapardis di Sukamakmur (13-14/04/2019 - dokpri)
Retreat GBKP Musik Tiup-Sorapardis di Sukamakmur (13-14/04/2019 - dokpri)
Retreat GBKP Musik Tiup-Sorapardis di Sukamakmur (13-14/04/2019 - dokpri)
Retreat GBKP Musik Tiup-Sorapardis di Sukamakmur (13-14/04/2019 - dokpri)
Retreat GBKP Musik Tiup-Sorapardis di Sukamakmur (13-14/04/2019 - dokpri)
Chapel di Retreat Center GBKP-Sukamakmur (dokpri)
Chapel di Retreat Center GBKP-Sukamakmur (dokpri)
Benarlah sebuah ungkapan yang terdengar skeptis, tapi sebenarnya bermakna kritis, dari kitab suci yang mengatakan bahwa "Semakin Banyak Pengetahuan Kita, Semakin Banyak Pula Kesusahan Kita." 

Mengapa tidak? Karena kita hidup di sebuah dunia dengan manusia-manusia yang tidak pernah berhenti saling merundungi, atau dirundungi. Inilah dunia yang penuh dengan bullying.

Menyingkat contoh perbedaan antar periode, cukup dengan membandingkan antara generasi baby boomers dengan generasi Z saja, yakni masa dimana para orang tua anak-anak remaja ini lahir dan dibesarkan dan masa dimana anak-anak milenial kita lahir, besar dan hidup, maka tidak kurang banyak contoh bagaimana kita hidup diantara sekian banyak perundungan.

Suasana Pagi di Retreat Center GBKP, Sukamakmur (dokpri)
Suasana Pagi di Retreat Center GBKP, Sukamakmur (dokpri)
Apa yang membedakan kedua generasi ini hanyalah kuantitas dan kualitas terjadinya bullying, yang mana semakin modern bisa dikatakan semakin meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya.

Kalau pada masa orang tua kita yang lahir pada masa dimana sumber hiburan dan informasi hanya dari membaca koran dan mendengar radio, maka perundungan juga hanya mungkin terjadi selama koran dibaca atau radio belum berhenti mengudara. 

Sementara itu, pada masa kini di mana manusia hidup pada sebuah desa global, dimana sekat dan batas-batas hampir sudah tidak ada dengan pengaruh teknologi informasi, maka perundungan sangat mungkin terjadi sepanjang hari selama hidup, selama manusia itu terhubung ke internet. Desa global kini berada dalam genggaman melalui telefon pintar.

Menjelang tidurpun manusia sekarang biasa melihat perundungan, atau melakukan perundungan, atau mengalami perundungan melalui media sosial pada telefon pintar di genggamannya. Sumber hiburan adalah sekaligus sumber perundungan di masa ini. 

Dunia menjadi terbiasa mem-viralkan tidak saja kebaikan, tapi juga keburukan. Dunia menjadi terbiasa menertawakan kekurangan, yang membuat penderitaan menjadi komoditi ekonomi lewat lelucon yang dikomersilkan, dan kebanyakan manusia kalau bukan seluruhnya, ikut menikmatinya.

Siapa yang tidak melakukan bullying, kalau ternyata ada bapak kandung yang mampu menodai anak gadisnya sendiri, atau kalau ternyata guru adalah pelaku utama kekerasan kepada anak muridnya di sekolah?

Mungkin hanya pada manusia ada terungkap tugas untuk memanusiakan manusia, karena ternyata hanya manusia yang memiliki bakat untuk malu menjadi dirinya sendiri. Belum pernah terdengar bahwa ada monyet yang malu menjadi monyet.

Manusia perlu berdamai dengan dirinya sendiri. Karena manusia menyimpan trauma dan histeria masa lalu di dalam ruang bawah sadarnya yang terdalam. 

Manusia butuh pelepasan, karena dunia seakan tengah bergerak ke arah ketiadaan cinta dan persahabatan, yang tersisa seakan hanya kepentingan belaka. Apa yang kurang dari dunia sekarang adalah cinta dan persahabatan dalam hubungan-hubungannya.

Baca juga: https://www.kompasiana.com/teotarigan/5c18d211677ffb13435fdfa2/semakin-banyak-pengetahuan-kita-semakin-banyak-pula-kesusahan-kita

Lagi dalam zaman ini, kita menemukan bakat alamiah manusia yang lain. Sesuatu yang oleh Nietzsche disebut sebagai gambaran dunia dengan tempat pikiran serba sempit dan serba praktis, tapi pongah. 

Kepongahan manusia di era masyarakat ekonomi, masyarakat konsumsi. Sebuah era yang menghadirkan kesendirian dan keterasingan, sekalipun dalam keramaian.

Kebersamaan hampir menjadi sepenuhnya semu. Perjumpaan sementara hanya berlangsung di permukaan. Masing-masing orang tidak ubahnya hanya berperan sebagai penjual dan pembeli, apa yang dipunyai menjadi komoditi. Masing-masing hanya memikirkan bagaimana kebutuhannya sendiri terpenuhi.

Lalu apa ungkapan yang lebih cocok, selain ungkapan bahwa "Semakin banyak pengetahuan kita, maka semakin banyak pula kesusahan kita?" bilamana kita dewasa ini gemar sekali membawa telefon genggam ke toilet? Adakah sesuatu yang "menarik" untuk difoto, diunggah dan di-share dari sana kepada dunia?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun