Topik pembahasan mengenai relevansi terkait dengan topik pembahasan mengenai manfaat. "Apa manfaat berpikir filosofis, kalau itu hanya berurusan dengan segala macam pertanyaan, namun sepertinya tidak pernah tiba pada jawaban atau kesimpulan apa pun?" Sebuah pertanyaan yang diajukan oleh Rob Fisher, seorang filosof kontemporer.
Filsafat memiliki reputasi sebagai ilmu yang "sulit." Ada anekdot terkait hal itu, katanya: "Salah satu cara paling jitu untuk menghentikan percakapan di acara pesta ialah dengan memperkenalkan diri kita sebagai seorang filsuf. Biasanya setelahnya orang akan terdiam dan secara sopan mengajak untuk membahas hal-hal lain.
Padahal, orang yang membincangkan filsafat kehidupan selalu membiasakan diri untuk melihat sisi baik dari kehidupan. Misalnya yang terkandung pada sebuah ungkapan filosofis tanpa menjelaskan suatu sebab, katanya : "Berbuatlah yang sebaiknya kepada orang lain dan kemudian pergilah jauh-jauh sebelum mereka dapat berbuat serupa kepada Anda."
Apakah manfaat filosofi?
Mungkin banyak sekali jawaban. Salah satunya terkait dengan praktik keseharian pemerintahan yang menyangkut kepentingan masyarakat melalui produksi regulasi dan kebijakan publik.
Sebagai contoh misalnya dalam menetapkan sebuah produk hukum, baik undang-undang sampai hirarki hukum terendah dalam bentuk peraturan daerah. Penyusunan produk hukum yang baik seharusnya didahului sebuah kajian melalui penyusunan naskah akademik. Dalam naskah akademik biasanya mencakup serangkaian pikiran logis yang disusun secara sistematis, didahului oleh tinjauan filosofis, dan dilanjutkan tinjauan-tinjauan berikutnya, baik historis, sosiologis, psikologis, yuridis dan lain sebagainya.
Mengapa tinjauan filosofis ini ditempatkan di awal bukanlah tanpa alasan. Dunia sapiens modern adalah sebuah tatanan peradaban yang dibangun di atas landasan berpikir kritis, yang banyak menguji relevansi atas berbagai variabel. Berpikir adalah sebuah aktivitas filosofis.
Kegagalan menangkap esensi filosofis secara utuh dalam memproduksi sebuah produk hukum, berpotensi besar melahirkan sebuah produk hukum yang tidak saja tidak relevan tapi juga berpotensi menghambat terpenuhinya kebutuhan publik, bahkan menghasilkan kekacauan di tengah kehidupan publik.
Sebagai contoh, pernah di sebuah daerah dalam rangka pembangunan jaringan irigasi untuk mendukung produktivitas tanaman padi, menjadi gagal hanya karena ada seorang warga yang tidak mau membebaskan lahannya meskipun hanya beberapa meter untuk dilalui proyek pembangunan irigasi tersebut. Saat ditanya oleh aparat pemerintah kecamatan setempat kenapa tidak bersedia membebaskan lahannya, si empu lahan hanya menjawab singkat, "Bukan apa-apa, pokoknya saya tidak mau."
Dalam kasus tersebut ada permasalahan sosiologis dan psikologis yang akan efektif didekati dalam rangka mencari solusinya melalui sebuah pemikiran filosofis kritis. Kadangkala pemikiran guna mencapai solusi kebijakan itu tidak melulu rumit melalui pendekatan legal formal, melalui hukum. Ada banyak contoh, kadang kala masalah rumit bisa selesai di atas meja makan atau di sebuah lapau tuak, tergantung karakteristik lokal sebuah kesatuan demografis, di wilayah tertentu.
Maka dari itu, bukan tidak mungkin, sulitnya merumuskan sebuah regulasi atau kebijakan publik yang mampu menjawab kebutuhan publik, justru karena kita sering abai dan tidak tuntas membahas sebuah proses dasar yang sering dianggap buang-buang waktu dan tidak bermanfaat, kita tidak menuntaskan pembahasan mengenai landasan filosofis.
Bukan tidak mungkin, banyaknya kesulitan dalam membangun komunikasi dengan publik untuk mengatasi berbagai masalah yang sering berujung konflik, adalah karena para pemangku kepentingan sudah malas berpikir filosofis, sehingga gagal memahami sosiologi, histori, dan psikologis.
Dalam konteks ini, pembahasan filosofis adalah sesuatu yang relevan, bermanfaat dan tentu saja hanya bisa berlangsung bila orang-orang tidak malas untuk berpikir.