Ada sebuah ungkapan rohanis yang menyatakan bahwa adalah lebih bersalah bila seseorang yang tahu membedakan mana yang jahat dan mana yang baik, tapi ia lebih memilih untuk melakukan kejahatan, dari pada orang yang melakukan kejahatan, tapi ia tidak tahu apakah yang dia perbuat jahat atau baik.
Dalam kenyataan hidup sehari-hari, kondisi yang pertama sebagaimana di atas mungkin adalah kenyataan yang berlaku lebih banyak. Kalau kita renungkan dan coba rasakan, barangkali ada benarnya, karena kalau semua orang yang sadar dengan kebaikan dan memilih untuk lebih melakukan kebaikan dalam hidupnya tentu kejahatan akan nyaris tidak ada. Namun, kalau kita lihat kenyataannya, mungkin adalah sebaliknya.
Tengoklah misalnya, tingkat korupsi di Indonesia, sementara dari ratusan juta penduduknya mungkin sebagian besar adalah umat pemeluk salah satu agama atau aliran kepercayaan.
Kenyataan dewasa ini mungkin membuat kita harus mengakui bahwa ini adalah era dimana kekuasaan mengalahkan makna, sebagaimana pendapat Prof. Yuval Noah Harari. Harus juga diakui bahwa kemenangan kekuasaan atas makna, salah satu dampaknya adalah telah menyebabkan upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi tujuan utama dari berbagai tindakan kebanyakan umat manusia dewasa ini.
Manusia berambisi mengumpulkan kapital sebanyak mungkin untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi agar bisa berkuasa atas yang lainnya. Bahkan menurut Nietzsche, pengetahuan pun adalah suatu bentuk kehendak untuk berkuasa.
Menurutnya, ide tentang pengetahuan murni tidak dapat diterima, karena nalar dan kebenaran tidak lebih dari sekadar sarana yang digunakan oleh ras dan spesies tertentu. Kebenaran bukan sekumpulan fakta, mungkin itu (kebenaran) hanyalah interpretasi dan tidak ada batas bagaimana dunia diinterpretasikan.
Jika kebenaran memiliki sandaran historis, maka ia merupakan konsekwensi dari kekuasaan. Dimanapun, afirmasi kekuasaan selalu diiringi resistensi, meskipun dalam bentuk dan gradasi yang berbeda-beda.
Dalam mempraktikkan dan mempertahankan kebenaran, sering terjadi silang pendapat atau perdebatan, karena masing-masing pihak ingin mengukuhkan pendapatnya dengan dasar pengetahuan yang dimilikinya. Satu pendapat ingin menguasai pendapat yang lainnya. Tidak ada yang aneh dengan hal itu, hanya semacam penegasan bahwa manusia secara alamiah memang memiliki suatu kehendak untuk berkuasa.
Beralih ke topik soal hukum, bahwa dalam manajemen Pegawai Negeri Sipil dewasa ini, terutama terkait dengan pemberhentian tidak dengan hormat bagi para Pegawai Negeri Sipil yang dipidana dengan pidana penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan Jabatan, dalam hal ini yang paling umum diketahui secara luas oleh publik adalah tindak pidana korupsi, terjadi sebuah gejala dalam hukum yang disebut dengan formalisme hukum.
Dalam konteks manajemen Pegawai Negeri Sipil, istilah ini mengemuka dalam sidang perkara perihal pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pada tanggal 12 Februari 2019, di Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, dengan acara mendengarkan keterangan ahli presiden.
Pada persidangan tersebut, Dr. Tri Hayati, saksi ahli dari pemerintah menjelaskan pendapat Moore, sebagaimana dikutip Nicole Niessen, bahwa "di negara maju maupun negara berkembang, bukanlah tidak lazim masyarakat yang mengatur hukum daripada hukum yang mengatur masyarakat."