Sudah bukan merupakan hal yang baru diketahui bahwa dewasa ini peran masyarakat sipil, baik sebagai komunitas maupun secara personal, semakin diberi ruang dalam hal-hal yang terkait dengan kebijakan publik. Bila merujuk pada pengertian dalam bahasa Inggris, istilah masyarakat sipil berasal dari kata civil society, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer.
Berkaca dari kisah persahabatan yang aneh dalam sebuah novel berjudul Cantik Itu Luka karangan Eka Kurniawan, antara Shodancho, seorang komandan rayon militer di Halimunda, bekas pemimpin gerombolan pejuang revolusioner yang memberontak melawan tentara Jepang pada masa penjajahan melalui perang gerilya, dengan Maman Gendeng, seorang pendekar generasi terakhir, murid dari Empu Sepak dari Gunung Gede, yang akhirnya menjadi preman penguasa terminal di Halimunda.
Melalui kisah persahabatan mereka yang aneh, ternyata golongan masyarakat sipil bisa berkoalisi dengan golongan masyarakat militer, tidak selamanya kontraposisi. Selalu ada kepentingan yang bisa menjadi motif timbulnya sebuah hubungan "persahabatan," sekalipun sesungguhnya mereka saling bermusuhan. Dengan kata lain, tidak ada musuh dan sahabat yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi.
Dalam novel ini digambarkan, bahwa tabiat para prajurit yang terbentuk dengan tergesa-gesa di tengah segala keterbatasannya pada periode awal kemerdekaan yang bahkan baru sampai kabarnya ke Halimunda lebih dari sebulan kemudian sejak kemerdekaan itu diproklamirkan, membuat masyarakat sering merasa jengkel dengan tabiat mereka, para prajurit itu.
Meniduri para pelacur tanpa membayar, minum-minum di kedai-kedai tanpa membayar, dan menumpangi angkutan umum tanpa membayar. Hal ini membuat para preman merasa seperti ditampar pipinya, karena mereka juga mencari makan dari menjual jasa keamanan dari orang-orang yang cari makan dengan caranya masing-masing itu.
Sama juga halnya dengan tabiat para preman. Mereka berbuat sesuka hatinya, seringkali mereka masuk saja ke dapur rumah warga yang tidak terkunci dan melahap seluruh makanan tanpa permisi, bahkan tidak peduli apakah si pemilik rumah sudah atau belum mencicipi apa yang dilahapnya. Terkadang mereka melucuti pakaian, atau sepatu, atau merampok barang berharga seseorang yang lengah berjalan seorang diri di jalan tongkrongan mereka. Pernah juga mereka mengganggu gadis-gadis yang berjalan sendiri atau bahkan ditemani seluruh anggota keluarganya.
Semua itu, terasa memuakkan bagi warga, tanpa nyaris ada pihak yang mau menertibkannya. Mereka tidak berharap bisa mengadu kepada polisi apalagi tentara. Bagi setiap mereka, seolah masing-masing sudah punya daerah kekuasaannya dan tidak akan saling mengganggu urusan masing-masing. Hingga setiap urusan adalah tanggung jawab warga sendiri. Tidak ada yang peduli dengan nasib mereka, selain diri mereka sendiri.
Hingga pada suatu hari, akibat perkelahian yang dipicu oleh perkelahian seorang preman dan seorang tentara memperebutkan seorang gadis desa, perkelahian itu akhirnya berkembang menjadi tawuran yang melibatkan teman-teman kedua orang yang bertikai itu. Satu kelompok tentara, di pihak yang lain satu kelompok preman dan teman-temannya. Keadaan ini semakin meresahkan warga yang merasa terancam, hingga memaksa pimpinan kedua pihak turun tangan untuk mengamankan situasi, sang Shodancho dan Maman Gendeng.
Apa yang terjadi ternyata di luar dugaan para warga, karena pertikaian yang mungkin akan berdarah dan memakan korban jiwa itu ternyata dapat diatasi melalui sebuah kesepakatan yang lahir tidak lama di atas sebuah meja permainan kartu truf pada sebuah pasar yang berlokasi di antara markas rayon militer wilayah kekuasaan Shodancho dan terminal wilayah kekuasaan Maman Gendeng.
Sebuah kesepakatan yang memancing kecurigaan dari warga sebagai sebuah kesepakatan jahat, sekalipun bahwa akhirnya kesepakatan itu memang berhasil meredam peperangan yang mencekam. Kalau seandainya peperangan itu benar terjadi, barangkali wargapun mungkin akan saling menghabisi. Karena mungkin sebagian warga yang muak dengan preman akan memihak tentara, sebaliknya sebagian warga yang muak dengan tentara akan memihak preman.
Kecurigaan itu memang akhirnya terbukti, karena baik preman dan tentara akhirnya tidak lagi saling mengganggu. Preman dibiarkan berbuat apapun sesuka hatinya, tapi mereka harus memberikan bagian dari apa yang mereka hasilkan atas perbuatan sesuka hati itu kepada tentara sebagai imbalannya.