Pada suatu waktu seorang teman bertanya kepada saya, "Jadi, kita di kampung ini akan tetap terjebak dalam situasi status quo?"Â Yang dia maksudkan sehubungan dengan agenda pemilihan umum di negeri ini pada April tahun 2019 ini.
Sementara pada saat yang sama, desas-desus yang beredar tentang perilaku masyarakat pemilih yang menanti serangan fajar dari para caleg sesaat sebelum atau pada hari pelaksanaan pemungutan suara masih merupakan kenyataan yang sangat jelas, bahkan dijadikan bahan candaan terbuka, apakah di kedai-kedai kopi, di acara-acara kondangan, di upacara pemakaman, bahkan di acara-acara peribadatan.Â
Seolah tidak ada masalah etis dari sisi manapun yang terlukai di sana. Konon lagi soal hal-hal yang hanya sebatas ideologis dan filosofis, rasanya sudah lama wafat di masyarakat.
Hal yang paling mungkin terkait dengan kebutuhan masyarakat adalah soal ekonomi pragmatis, karena itu candaan yang sebenarnya terdengar sinis dan membosankan soal politik mereka tanggapi secara taktis dan praktis.
Tapi ada juga satu dua orang yang terlibat dialog yang sedikit kritis, meskipun lebih terkesan apologis. Katanya: "Kenapa yang dipersoalkan lebih banyak soal masyarakat yang gemar menanti serangan fajar? Bagaimana dengan calon politisi atau lebih tepat calon politikus yang tidak yakin menang kalau tidak membeli suara itu? Kenapa tidak memberi terapi untuk menenangkan kegilaan mereka? Ini tidak fair?"
Yang lain menimpali: "Ah, sudahlah, kalau mereka memberi, apa pun itu, kau terima saja. Besok kau pilih siapa yang kau suka, atau tidak usah memilih sama sekali. Bukankah kita sendiri yang membajak sawah baru bisa mengharapkan panen di musimnya? Untuk apa kau pusingkan mereka? Sakit sudah sakitlah semua."
Percakapan ini berlangsung saat sarapan pagi sesaat menjelang ibadah minggu pagi. Setelah ini, kami mungkin akan mendengarkan khotbah pendeta dan bersama-sama jemaat lainnya akan menyahuti khotbah dengan "amin!" serempak. Selanjutnya berdoa syafaat untuk pemulihan negeri dan agar seluruh pemangku negeri diberi kebijakan serta hikmat ilahi untuk mengurus rakyat, mengurus negeri.
Kepada teman yang bertanya kepada saya, aku cuma menjawab ragu-ragu: "Yah, sebagai PNS tentu ada aspek-aspek etis dalam pemerintahan yang harus dipahami untuk menjawab pertanyaan atau candaan Pak pendeta. Tokh Bapak juga bertanya kesannya sambil bercanda haha hehe. Saya lebih suka memandangnya dengan keseimbangan. Bahwa hal yang baik, sekecil apa pun saya syukuri sebagai buah kemajuan ke arah yang lebih baik. Dan yang kurang baik, sepatutnya bisa lebih diperbaiki bersama. Bukankah Bapak yang mengajarkan kami bahwa dalam dunia ini tidak ada yang benar, bahkan seorang pun tidak." Teman saya yang bertanya ini adalah seorang pendeta.
Kesadaran bahwa jalan pencarian menuju kebenaran adalah sebuah proses yang terus-menerus berlangsung dalam kehidupan membuat saya kembali bertanya: "Adakah yang benar-benar status quo dalam hidup ini?"
Lalu, setelah berpikir sejenak, ia menjawab: "Mungkin secara alamiahpun, semua bidang kehidupan akan mengalami perubahan Pak. Namun, dalam konteks politik praktis sering kali yang berkepentingan cenderung mempertahankan kepentingannya akan kekuasaan, secara tamak dan koruptif. Bukan begitu pak?"
"Ya sih pak, karena itu saya berpikir bahwa peran masyarakat sipil sangat strategis, yakni masyarakat yang masih punya minat dan kepedulian kepada soal-soal kebangsaan dan kenegaraan, untuk turut memberikan warna etis dalam kehidupan politik. Termasuk peran transformatif gereja-gereja. Aku setuju dengan pak pendeta. Perjuangan menuju kondisi itu belum usai, masih menuju dan menjadi."