"Satu pasangan muda yang akan membangun rumah baru untuk mereka sendiri mungkin akan meminta arsitek agar membuatkan halaman rumput yang cantik di bagian depan. Mengapa halaman rumput? 'Karena halaman rumput memang indah,' mungkin pasangan tersebut menjelaskan demikian. Namun, mengapa mereka berpikir demikian? Ada sejarah di belakangnya.
Ide menumbuhkan rumput di jalan masuk ke hunian pribadi dan gedung-gedung publik lahir di kastel-kastel kaum aristokrat Prancis dan Inggris pada akhir abad pertengahan. Pada awal era modern, kebiasaaan ini mengakar kuat, dan menjadi lambang kebangsawanan.
Halaman rumput yang terawat mebutuhkan lahan dan banyak pekerja, terutama pada hari-hari sebelum mesin pemotong rumput dan penyemprot air otomotis bekerja. Padahal, lahan-lahan rumput itu tidak menghasilkan sesuatu yang bernilai.Â
Tidak untuk lahan beternak, tidak untuk bertani, itu (memiliki halaman berumput) hanya menjadi simbol yang tidak bisa dipalsukan oleh siapapun, sekaligus memaklumkan dengan tegas kepada siapapun yang lewat bahwa pemiliknya sangat kaya dan kuat, dan punya banyak tanah dan hebat. Jika kita melihat halaman rumput di rumah seorang pangeran sedang buruk, kita tahu dia sedang mengalami kesulitan." (Yuval N. Harari, Homo Deus)
Setelah membaca sejarah ringkas halaman rumput, ketika kita siap merencanakan sebuah rumah impian masa depan, kita mungkin akan berpikir dua kali untuk memiliki hamparan rumput di halaman depan. Selain masalah keterbatasan lahan, ada persoalan etika ekologi juga di sana.Â
Tentu saja, bagi yang mampu masih bebas untuk melakukannya. Namun, kita juga bebas untuk melepaskan apa yang disebut Yuval sebagai "kargo kultural" yang diwariskan kepada kita oleh para Pangeran Eropa dari abad pertengahan, para dedengkot kapitalis, dan membayangkan untuk kita sendiri sebuah kebun cantik ala Jepang, atau kreasi yang sama sekali baru.
Memasuki hari-hari di minggu pertama tahun 2019, banyak sekali ramalan dari berbagai pihak, baik yang menyatakan secara serius berdasarkan kajian fenomena, fakta dan proyeksi maupun yang sekedar imajinasi yang tidak terlalu didukung dasar yang jelas.Â
Terlepas dari caranya meramal, ada beberapa yang meramalkan bahwa pada 2019, masih akan dihiasi oleh sederet musibah dan bencana alam. Ramalannya datang dalam deskripsi yang samar-samar, sebuah ciri khas ramalan, yang penuh dengan kemungkinan dan ketidakpastian, mungkin ya mungkin tidak.
Ada peramal yang mengatakan bahwa ia melihat melalui mata batinnya, bahwa ada banyak unsur api, panas dan angin di 2019. Sebuah gambaran mengenai potensi bencana alam dan kemungkinan semakin meningkatnya angka bunuh diri, katanya.
Menurut saya pribadi, ini adalah gambaran yang skeptis dalam menyambut hari ini dan masa depan yang seharusnya dan sebaiknya diawali dengan sederet perencanaan dan target-target optimis serta harapan-harapan baru.Â