Sebuah cerpen tentang kisah kepahlawanan masa kini dalam ironi zaman, tentang kehidupan para sahabat sampah, para petugas kebersihan.
Burung Kondor, terdengar biasa layaknya burung lainnya, yang lazimnya bersayap dan umumnya bisa terbang. Tetapi mungkin akan lebih terkesan seram bila dipanggil dengan sebutan lainnya, burung kondor adalah burung pemakan bangkai.
Sungguhpun demikian, perhatian kita sering terlewatkan, bahwa sesungguhnya burung pemakan bangkai adalah salah satu penghuni kasta rantai makanan, yang entah karena rela atau terpaksa, menjadi salah satu pemberi jalan keluar di antara beberapa makhluk hidup lainnya yang mau terlibat di dalamnya, demi menyingkirkan bangkai busuk dari rangkaian panjang rantai makanan.
Tanpa bermaksud merendahkan dan mempermalukan mereka, walaupun tidak sedikit orang yang memang menganggap mereka dan pekerjaannya rendah, atau bahkan tidak menyadari sama sekali kehadiran mereka di antara kita, tetapi saya tetap akan menyebut mereka dengan rasa hormat yang sedalam-dalamnya sebagai sang Burung Kondor dari Lembah Pola Nderung.
Pengenalan akan kisah perjuangan hidup mereka, di tengah hiruk pikuk ironi zaman, baik laki-laki atau perempuan, tua renta atau muda, masih lajang atau sudah berkeluarga, akan membawa kita kepada sebuah tontonan kisah peperangan batin, antara perjuangan demi harapan mencukupi kebutuhan hidup, yang sama sekali tidak sebanding dengan kenyataan dalam pengabdiannya, atas sebuah pilihan hidup dengan bekerja sebagai petugas kebersihan. Sekali lagi, saya tidak merasa berlebihan menyebut mereka sebagai pahlawan masa kini, sang sahabat sampah.
Alur perjalanan sampah dimulai dari asal timbulan sampah sehari-harinya, baik sampah rumah tangga, sampah hasil usaha meliputi sampah pertokoan, pasar, warung, bengkel, industri, dan sebagainya, maupun sampah hasil kegiatan-kegitan masyarakat lainnya. Alur seterusnya, pengumpulan sampah di tempat-tempat transfer sementara yang disebut Tempat Penampungan Sementara (TPS) atau depo transfer, selanjutnya penanganan sampah di TPS atau depo transfer serta pengangkutan sampah dari TPS atau depo transfer ke TPA. Sungguhpun sebuah alur yang tidak sempurna, apalagi kalau mau disebut dikelola dengan sempurna sesuai dengan teknik manajemen pengelolaan persampahan sesuai amanat peraturan perundang-undangan, tetapi begitulah adanya di kampung ini, setidaknya sampai dengan saat ini.
Sungguh sebuah ironi zaman, disaat bangsa lain sedang berlomba di era persaingan teknologi digital, mereka sang sahabat sampah di kampung ini, setiap hari bekerja mengangkat sampah dengan pertunjukan "goni buang" dan "cakar besi" kesayangannya, walaupun terkadang kita tidak sadar, bahwa pertunjukan itu terjadi setiap hari di sekitar kita.
Tentu saja, pertunjukan "goni buang vs cakar besi" tersebut tidak setiap harinya digelar di lingkungan yang sama, karena para pelaku pertunjukan, sang sahabat sampah, harus menggelar pertunjukan mereka secara bergiliran dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya. Sebuah pertunjukan mengumpulkan dan mengangkat sampah dengan goni plastik dan cakar besi, yang ternyata sepanjang hari telah ditunggu-tunggu oleh para penonton. Sebagian bahkan sudah hilang kesabarannya, menanti kapan pertunjukan "goni buang vs cakar besi" dari para si burung kondor itu digelar di lingkungan tempat tinggalnya, karena sering kali setelah pertunjukan, yang inti ceritanya adalah menyingkirkan bangkai-bangkai busuk yang ditempatkan tidak pada tempatnya itu selesai digelar, para penonton harus menunggu hingga berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, sampai akhirnya pertunjukan itu digelar kembali di lingkungan tempat tinggalnya, walaupun dengan para pemain yang tak jarang silih berganti.
Tali temali ironi yang sudah sedemikian simpul ini, tetap saja harus diakali demi berjalannya alur perjalanan sampah tersebut dari hari ke hari. Mulai dari peran ganda karyawan sebagai petugas kebersihan sekaligus sebagai pengumpul "botot" atau barang bekas swadaya, demi mengakali gaji yang molor berbulan-bulan, kendati hasil dari berjualan botot tersebut harus kandas di warung kopi demi segelas "teh susu gelas pendek" dan beberapa batang rokok, yang entah karena beratnya perjuangan untuk mendapatkannya, rasanya sungguh nikmat saat dicicipi di kala senja, sesaat setelah selesai bekerja mengangkut sampah, menunggu daftar hadir diteken setiap harinya. Begitulah yang saya rasakan sebagai PNS yang menyaru sebagai tukang pengangkut sampah dan terlibat langsung di lapangan bersama-sama dengan para buruh harian lepas, selama setahun sejak tahun 2012 sampai dengan tahun 2013.