Kepemimpinan baru LPSK periode 2018-2023 yang akan menjalankan amanah mempedomani Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, tentu membawa harapan akan hadirnya upaya perlindungan terhadap saksi dan korban dalam penegakan hukum di Indonesia yang lebih baik, sekalipun mungkin tidak sedikit juga pihak yang tidak terlalu menaruh banyak harapan.
Dalam teori organisasi dan manajemen, periode transisi adalah sebuah hal yang lumrah. Transisi bisa saja berkaitan dengan perubahan regulasi, perubahan kepengurusan, atau pun perubahan kultur organisasi.
Mengutip pendapat Deal & Kennedy dalam buku Change! Manajemen Perubahan, karangan Rhenald Kasali, Ph.D, bahwa ada tujuh budaya negatif yang mengontaminasi organisasi pada masa transisi.Â
Ketujuh nilai tersebut dapat menghapuskan atau mengurangi karakter positif pengikat sebuah institusi, seperti nilai-nilai komitmen, kebersamaan, dan loyalitas. Satu diantara ketujuh nilai negatif tersebut menurut Deal & Kennedy adalah budaya mengedepankan kepentingan kelompok.Â
Ini adalah nilai laten yang dapat muncul saat organisasi pada masa transisi, antara lain disebabkan karena kita tengah berada di sebuah hempasan gelombang besar yang memutuskan mata rantai ekonomi lama dengan sebuah mata rantai ekonomi baru, yang disebut era informasi atau era digital.Â
Segala sesuatu yang tadinya bergerak secara linear dan beruntun, berubah menjadi sirkular dan bergerak serentak. Informasi yang tadinya bersifat simetris menjadi transparan dan demokratis. Akibatnya, cara berusaha berubah menjadi lebih kompetitif, ramping, demokratis, independen, dan menuntut lebih banyak pendekatan kewirausahaan.
Organisasi yang terlambat atau bahkan gagal beradaptasi pada masa transisi ini akan mengalami krisis, yang ditandai dengan karyawan yang semula menganut etos kerja memberikan kemampuan yang terbaik kepada perusahaan atau institusi dan sebaliknya perusahaan akan memberikan imbalan yang layak, karier yang jelas, serta kondisi kerja positif, menjadi etos kerja karyawan dan manajemen institusi yang ngasal, seiring dengan hubungan sosiologis karyawan dan manajemen yang semakin merenggang dan kehilangan unsur saling percaya.Â
Padahal manusia memerlukan kepercayaan dalam bekerja, karena kepercayaan menimbulkan keyakinan, harapan dan simbol kesatuan yang mendorong mereka terus bekerja, membangun spirit kebersamaan dan memberikan arti bagi kehidupan.
Teori manajemen dan organisasi yang menjelaskan potensi munculnya kondisi krisis serta penyebabnya menunjukkan bahwa nilai-nilai yang mempengaruhi dinamika pada suatu organisasi bersifat universal, bahwa untuk bisa bersama sangat dibutuhkan adanya kepercayaan. Pada masa transisi segala sesuatu yang sudah menjadi biasa di masa lalu tiba-tiba menjadi gelap, tidak jelas lagi.Â
Semuanya butuh waktu untuk menjadi jelas kembali. Di saat nilai-nilai lama sudah tidak relevan untuk dipertahankan, sementara nilai-nilai baru yang diharapkan belum terbentuk, maka selama proses transisi itu sangat dibutuhkan sub kultur-sub kultur dalam unit-unit organisasi tetap membina ikatan nilai yang kuat untuk mampu bekerja secara efektif, sehingga pada saatnya realitas baru terbentuk dan diterima secara luas, seluruhnya akan menikmati suatu kesatuan kultural yang dulu pernah dinikmati bersama.
Mencoba sesuatu yang baru jelas tidak akan mudah dan mendapatkan banyak pertanyaan, bahkan dihiasi oleh beribu-ribu keraguan. Tetapi patutlah seluruh pihak memberikan walau sedikit saja keyakinan dan kepercayaan untuk manajemen bekerja, sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang paling baik bagi kepentingan bersama.