Kita belajar bukan untuk nilai tapi untuk hidup
Lebih kurang empat belas tahun yang lalu, dalam obrolan santai sambil golek-golek (istilah di kampung kami utk berbaring santai) di asrama saat kuliah, seorang teman dari Maluku entah mengapa rela menukar buku karangan Andrias Harefa miliknya, yang sangat bagus menurut saya dengan sebuah buku tentang pergolakan politik indonesia pasca reformasi milik saya yang sampai sekarang saya tak tahu siapa penulisnya.
Mengutip Andrias yang meminjam istilah Alvin Toffler yang sangat populer dalam bukunya, seluruh umat manusia dewasa ini sedang memasuki bentangan kawasan masa depan yang belum terpetakan, terra incognita. Sebuah ironi, disaat kita dibanjiri oleh begitu banyak informasi dan pengetahuan yang mudah diakses dari berbagai sumber justru membuat kita bingung utk dapat memilih mana yang sebenarnya berguna dan mana yang tak berguna sama sekali. Kita justru semakin kurang pengetahuan, pada saat pengetahuan itu justru berlebih-lebihan.
Pada kondisi ini rasanya aspek kebijaksanaan yang sinis dalam sebuah ayat pada sebuah kitab suci menemukan relevansinya, katanya: "Sebab semakin banyak hikmat kita, semakin banyak pula kecemasan kita. Semakin banyak pengetahuan kita, semakin banyak pula kesusahan kita."
Andrias mengutip Roger Konopasek dalam bukunya yang berjudul Sekolah Saja Tidak Pernah Cukup, katanya: "saat reuni sekolah, setelah sekian lama tak bertemu, menarik sekali mendapati bahwa orang-orang yang tak terlalu sukses di kelas justru lebih sukses dalam hidup. Mereka datang dengan pesawat kelas satu atau mengendarai sedan mewah, sementara jago-jago kelas datang dengan tiket kelas ekonomi atau mobil keluarga dan mengeluhkan sakit pinggangnya. Prestasi akademik hanya baik di kelas, tetapi bisa amat merugikan untuk berlaga dalam kehidupan nyata."
Kalau harta dan kekayaan yang menjadi ukurannya mungkin Roger benar, karena kita belajar bukan untuk sekolah tapi untuk hidup. Waktu berubah dan pengetahuan tidak cukup untuk sekedar mencari kebenaran demi kebenaran itu sendiri tanpa kegunaan untuk menghasilkan sesuatu yang "mencukupkan" kebutuhan, sekalipun untuk itu tanpa sadar sesekali jiwa kita terjual karenanya. Tidak banyak orang yang mampu menggugat realitas ini, karena untuk itu dia harus rela menjadi poor dad.
Ilmu pengetahuan adalah sumber kebijaksanaan. Demikianlah kira-kira makna sebuah frasa berbahasa Latin, Scient a est Sapientia, yang tertulis pada mimbar upacara di lapangan utama sekolah anak saya. Saya sering membaca frasa itu saat terkadang harus mengantarkannya ke kelas entah karena kurang enak badannya ataupun sekedar menyemangatinya sekolah pada hari itu karena ogah-ogahan sejak bangun pagi.
Saya memikirkan, demikianlah filsafat ilmu yang dibangun dari premis-premis logis menjadi sebuah nilai dan pedoman hidup. Setidak-tidaknya bagi siswa-siswi yang pernah sekolah di sini, frasa Scient a est Sapientia itu akan mengiang-ngiang dalam benak sebagian alumnusnya.
Di samping itu, ada pula frasa lain yang datang dari peradaban purba yang pasti tidak kalah tua dari frasa Latin di atas, katanya: takut akan Tuhan adalah permulaan hikmat dan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan. Tidak ada yang bertentangan dengan kedua falsafah itu, sama-sama menempatkan bahwa kebijaksanaan lekat dengan ilmu pengetahuan dan Tuhan.
Bukankah juga setiap orang dalam pencariannya sendiri akan kebajikan, selalu tiba pada satu titik yang tidak terdefinisikan, dan pada akhirnya ia kembali kepada pengakuan akan sesuatu yang di luar kemampuan. Ia yang tak terjelaskan dengan segala kosa kata yang dapat diucapkan. Bagi yang tidak mampu kembali berlabuh setelah mengembara ke samudra pencarian, mungkin termasuk salah satu seburuk-buruknya pilihan, karena setiap orang selalu punya pilihan, sekalipun dalam kesulitan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H