Tulisan ini adalah sebuah eksposisi deskriptif dari sebuah buku yang berjudul Menjejak Oase, tulisan Saurlin Siagian (2007), yang berisi kiprah pemberdayaan masyarakat di desa-desa Tanah Karo dan sekitarnya.
Suatu ketika, lebih kurang empat puluh dua tahun yang lalu, seorang pendeta berdiri memandang ke arah lembah di sekitar Bandar Baru dari sebuah bukit yang sekarang menjadi lokasi Biara Santa Clara di Bandar Baru.Â
Melihat realita kontras pada waktu itu, antara megahnya bangunan beton beratap seng yang mengelola bisnis syahwat, sementara di sekitarnya terhampar gubuk-gubuk reot warga lokal yang beratap rumbia dan berdinding tepas, milik para pekerja tani yang banting tulang di saat hujan dan panas terik, terbelit siklus kredit dari para lintah darat, jauh sejak sebelum masa panen tiba.
Dalam perenungannya, sang pendeta akhirnya tiba pada satu kesadaran bahwa kabar baik, kabar keselamatan, tidak cukup disampaikan lewat khotbah dari mimbar-mimbar gereja.
Maka mulailah dia mengaplikasikan secuil disiplin ilmu teknik sipil yang pernah dikecapnya di bangku kuliah pada masa sebelum dia beralih ke sekolah Teologia, untuk memenuhi panggilan hati disaat gereja kekurangan tenaga pendeta ketika terjadi 'pertobatan' massal pasca revolusi, masa ketika orang-orang takut sekali tidak beragama hanya agar tidak dianggap sebagai komunis.
Warga di desa itu pun dibuat bingung. Anggapan umum bahwa seorang pendeta piawainya hanya menggoreng kata-kata bijak dari antah berantah yang memabukkan ibarat candu, dibuat rontok di desa itu, desa Sikeben namanya.
Sang pendeta memulai pipanisasi air secara gravitasi dari sumber di atas desa sebagai langkah awal mengajarkan warga arti penting sanitasi dan perilaku buang air di MCK. Sebelumnya warga berak sembarangan di pekarangan belakang rumah.Â
Selanjutnya, pemasangan turbin untuk pembangkit listrik tenaga mikro hidro, karena sungai-sungai di sekitar desa itu potensial untuk itu. Maka di saat listrik dari PLN pada masa itu yang sering byar-pet, mereka yang tinggal di desa itu tidak pernah terganggu untuk menonton TV atau menyetel radio, sampai hari ini, karena mereka menikmati listrik dari sungai mereka sendiri.
Ini hanya sekelumit kisah menarik dari sekian kisah lainnya di desa itu. Bukan tanpa rintangan, karena untuk meyakinkan dan mengubah pola pikir warga dari mau senangnya sendiri menjadi berbudaya gotong royong saja dia butuh waktu tiga tahun.
Dalam tulisan sang penulis buku, dengan sedikit narasi drama, "entah roh apa yang merasuki warga desa itu, di saat individualisme sudah begitu merasuknya di sebagian besar benak dan tabiat anak negeri ini, maka di kampung itu tidak ada seorang pun warga yang enggan untuk meringankan langkahnya ketika ada panggilan untuk bergotong royong."