Toleransi merupakan hal yang sangat rentan akan permasalahan, keragaman adalah faktor utama penyebabnya. Keragaman menjadikan setiap individu/kelompok memiliki pendirian masing-masing. Terutama di Indonesia, toleransi memiliki peran penting dalam dinamika kebangsaan di Indonesia dikarenakan keragaman yang dimiliki Indonesia. Maka dari itu, perlu adanya kesadaran akan toleransi sejak dini, anak-anak sudah sepatutnya diajari hal terkait keragaman dan memberikan pengetahuan terkait toleransi. Sehingga memiliki bekal dalam hidup bermasyarakat nantinya. Dalam hal ini, badan yang memiliki peran penting adalah pendidikan.
Pendidikan memiliki peran untuk mendidik generasi muda penerus bangsa. Kaum muda nantinya akan mengambil alih peran sebagai pemimpin masa depan. Maka pentinglah bagi para kaum muda untuk melek terhadap keberagaman, menerima keberagaman yang ada dan memiliki sikap intoleransi untuk mendukung berkembangnya bangsa.Â
Maka dari itu, pendidikan memiliki peran penting dalam membangun toleransi dalam dinamika kebangsaan bangsa Indonesia. Pendidikan seharusnya bisa menciptakan generasi yang bisa menerima perbedaan dan mampu berdinamika dengan baik, secara virtual maupun fisik. Indonesia memiliki Pancasila sebagai dasar dan ketika intoleransi terjadi, maka Pancasila yang menjadi dasar seolah tidak memiliki kekuatan.
Sekolah sebagai dasar bagi para siswa nantinya untuk berdinamika dalam masyarakat
 Perkembangan seseorang adalah hal yang sangat penting untuk nantinya seseorang membawa diri dalam bermasyarakat. Menurut Jean Piaget, seorang anak belajar melalui proses asimilasi dan akomodasi untuk menumbuhkembangkan proses pola berpikirnya. Dalam proses berjalannya, orang akan mengubah pengalaman empiris menjadi pola pikir yang selanjutnya digunakan dalam hidupnya. Disinilah peran pentingnya pendidikan, harus membangun pola berpikir anak untuk menerima keragaman. Namun dalam berjalannya, tidak sedikit tindakan intoleran yang dilakukan pihak sekolah.
Beberapa kasus intoleransi yang terjadi di dalam dunia pendidikan diantaranya; pelarangan penggunaan hijab di SMPN 1 Singaraja dan SMAN 2 Denpasar (2014), seorang siswa aktivis Kerohanian Islam (Rohis) SMA 1 Gemolong, Sragen, merundung siswi lainnya karena tidak berhijab (awal 2020). Kasus-kasus tersebut seharusnya menjadi evaluasi bagi dunia pendidikan. Hal-hal seperti ini yang akhirnya membentuk pola pikir yang keliru dalam diri para siswa yang nantinya akan berdampak pada dinamika kebangsaan Indonesia. Lingkungan belajar yang memaksa terciptanya lingkungan yang homogen dengan norma-norma dan pemikiran tunggal bisa memotong perkembangan menuju kedewasaan berpikir dan emosi yang bisa berdampak pada masa mendatang.
Selanjutnya, selepas dari sekolah, orang-orang yang tidak biasa hidup dalam keberagaman ini akan sulit untuk masuk dan beradaptasi di masyarakat. Mereka bisa mengalami kebingungan dan takut kepada mereka yang memiliki latar belakang yang berbeda.
Pentingnya pendidikanÂ
Saat ini dunia tengah memasuki revolusi industri 5.0 di mana dunia fisik dan virtual berjalan beriringan. Hal ini terbukti dari UU ITE yang diciptakan untuk mengatur keberlangsungan dinamika bangsa Indonesia yang terjadi di dunia virtual (media sosial). Generasi saat ini merupakan generasi yang figital, mereka hidup berdampingan dengan dunia cirtual sejak kecil dan menjadi generasi yang paling mengerti soal dunia virtual. Selain itu, figital menyebabkan orang saat ini cenderung memiliki sikap FOMO (Fear Of Missing Out) yang menyebabkan orang tidak ingin ketinggalan akan sesuatu dan ingin megikuti trend. Dari sikap yang FOMO ini akhirnya paham-paham sesat bisa dengan mudah menyebar. Berbagai media bisa digunakan sebagai sarana untuk menyesatkan orang. Disinilah pentingnya pendidikan, bagaiamana pendidik mampu mengajarkan kepada para siswa sehingga mampu kritis terhadap berita yang dikonsumsi.
Dunia virtual merupakan dunia yang luas dan tanpa batas. Kita bisa dengan mudah mengakses berbagai informasi, bisa dengan mudah mengetahui apa yang sedang terjadi di dunia. Hal ini kemudian menimbulkan maslah baru. Ketika doktrin-doktrin mengenai intoleransi sudah tertanam sejak dini, lalu sekolah juga malah membantu proses berjalannya intoleransi, maka akan tumbuhlah pribadi-pribadi yang nantinya bisa menghancurkan bangsa lewat dunia virtual. Dunia virtual yang tanpa batas dan aturan menjadikan setiap orang bebas berpendapat, berpicara tanpa pikir, namun jejaknya dapat terekam dengan jelas. Maka disinilah peran pentingnya pendidikan. Bagaimana pendidik mampu menghasilkan pribadi yang nantinya mampu memliki rasa kebhinekaan dalam menjalani dinamikanya masing-masing.
Untuk mewujudkan pendidkan yang mampu memberikan dasar toleransi perlu adanya pelatihan terhadap para pendidik. Calon pendidik harus memliki kesadaran akan toleransi, jangan sampai kasus-kasus serupa dapat terulang. Selain itu para siswa juga harus memiliki sikap terbuka terhadap perbedaan. Dalam Gereja Katolik sendiri seringkali disingung soal saling mengasihi. "Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi" Yohanes 13:34. Dari potongan ayat dari Kitab Suci tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa hendaknya kita sebagai sesama manusia harus bisa mengasihi satu dengan yang lainnya.