Memang, tidak ada yang salah ketika anak-anak atau pelajar itu percaya diri dan berani mengkomunikasikan pendapat, saran masukannya di hadapan keluarga, sekolah dan agenda publik lainnya, namun penting dipahami bahwa itu semua harus empan papan. Artinya pelajar ini kita apresiasi berunjuk rasa atau berdemo, namun harus tetap dalam koridor bahasa yang santun dan menghembuskan budaya damai, ramah dan toleran, bukan anarkis sekaligus paham atas tujuan atau orientasinya (bukan melu-melu).
Jika kemudian para senior dari anak-anak dan pelajar bahkan orangtua acap mempertontonkan aksi demo yang barangkali cenderung ekstrem atau anarkis, maka tak menutup kemungkinan mereka akan meneladani tetuanya. Konsisten menjadi ajakan kuat di sini, artinya antara lisan dan perbuatan orangtua, guru, politisi, maupun elit lainnya itu linear, tak ada persimpangan di dalamnya. Karena dalam kacamata anak itu acap berlaku, guru kencing berdiri anak kencing berlari.
Bukan saatnya lagi mencari kambing hitam atas turunnya pelajar dalam aksi demo, tapi lebih bagaimana kita rela bercermin apa yang telah kita lakukan untuk membekali anak-anak kita, pelajar kita punya karakter yang ruh dan spirit di dalamnya penuh dengan konten-konten positif yang menenteramkan, bukan meresahkan.
Menjadi PR bersama, bagaimana politik kita itu ramah anak, bagaimana demokrasi itu memekarkan anak, bagaimana pendidikan itu membuat anak berani dan percaya diri menyampaikan pendapat dan bagaimana kita menjadi lebih berbudaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H