Barangkali sudah sejak dahulu, kalau anak-anak itu mau melakukan apa-apa serba dilarang. "Jangan bermain korek api, jangan berlari-lari, jangan banyak bicara bahkan jangan malas apalagi, jangan membantah," kalimat itu berangsur terekam hangat di otak anak-anak hari ini. Termasuk, baru-baru ini, diksi pelarangan atau imbauan tak terlibat bahkan ajakan tidak ikut demo dari influencer berdatangan memenuhi ruang media kita. Kekhawatiran, ketakutan dan kecemasan beraduk proteksi.
Anak-anak yang terlanjur turun di jalan dalam aksi demo berkenaan pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja kemarin, sebetulnya tidak sendirian. Ada beberapa hal yang turut menggerakkannya. Pertama, soal solidaritas perkawanan atau geng mereka, entah di sekolah maupun di lingkungannya. Mereka terlampau taat kala kelompoknya memutuskan melakukan satu aksi, kemudian anggotanya dipastikan akan berusaha mengindahkannya.
Kedua, mengadopsi sosok-sosok idola bagi anak-anak remaja atau pelajar, seperti mereka mengenal Soe Hok Gie, Che Guevara, dll sebagai ikon demonstran yang legendaris. Ketiga, anak-anak pelajar yang berdemo, mungkin saja mereka pernah membuka-buka pelajaran sejarah kita, pada era revolusi, tak sedikit kaum pelajar yang terlibat dan berjuang merebut kemerdekaan. Kita pernah punya kesatuan aksi pelajar Indonesia (KAPI), kesatuan aksi pemuda pelajar indonesia (KAPPI) dengan segenap kejuangannya..
Keempat, bisa jadi anak-anak yang berdemo itu juga ingin menunjukkan jika dirinya juga bisa menjadi sosok hebat dan genial. Misalnya saat berorasi atau menyuarakan aspirasinya. Hal lainnya, sebagian pelajar ini juga ada yang gampang terguncang provokasi berikut iming-iming tertentu, sehingga bisa dikatakan cap mau dan berangkatlah ke jalan bersama seniornya (mahasiswa dan pekerja).
Menginginkan pelajar bebas dari politik rupanya sulit kita wujudkan, karena pada dasarnya, karena juga keluarga, media dan lingkungan, pun pelajaran sekolah mengedukasi soal demokrasi, tentang politik dan menyampaikan pendapat, dll. Undang-undang Perlindungan Anak mengatur setiap anak memiliki hak untuk menyampaikan pendapatnya. Namun, ada prasyarat yang disiapkan agar anak dapat menyampaikan pendapat dengan baik, seperti anak harus mengetahui informasi yang akan disampaikan.
Kemudian, mereka mesti diberi kapasitasi dan pemahaman secara baik kepada anak. Selain itu, ada umpan balik pemangku kepentingan secara langsung terhadap pandangan anak. Juga harus memperhatikan situasi dan kondisi yang ramah terhadap anak, jauh dari konten-konten kekerasan dan memastikan keselamatan jiwa anak. Mungkin saja anak-anak saat demo itu tak mengancam, tapi justu mereka ini sesungguhnya sangat terancam atas kekerasan maupun rentan penularan covid-19, karena kerumunan masa yang tak hirau atas protokol kesehatan.
Jika pun banyak kalangan menyayangkan atas terjunnya pelajar dalam ajang demo itu, semestinya anak-anak maupun pelajar itu mendapatkan pendidikan politik secara proporsional. Misalnya, bisa saja parpol mengundang atau mengajak kaukus OSIS atau forum anak untuk menyampaikan aspirasinya, seperti pada praktik gelaran musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang), sehingga sedini mungkin potensi maupun input tersebut dapat dikelola secara baik dan tak ada penyesalan, tak ada bubur. Â
Beberapa pandangan mengatakan, kalau pelajar sebagai anak muda itu dugo prayugone durung ono, atau belum memiliki tujuan yang jelas ketika melakukan suatu hal dan mungkin saja bertindak kurang pantas. Maka kemudian, ketika pelajar yang sudah kepalang basah dalam aksi demo, meskipun ia atau mereka ini sebagai aktor atau pelaku demo, tapi sesungguhnya anak-anak maupun pelajar ini hanyalah korban syahwat politik yang keblinger.
Tak kurang baiknya, di sini aparatur bergiat melakukan kontrol siber gua meredam hoaks yang provokatif di media sosial. Hal itu untuk menghindari perlajar turun demo dan mengantisipasi mereka berbuat onar. Karena kerap di dunia maya disalahgunakan untuk melancarkan aktivitas provokasi.
Ramah Anak
Regulasi Mendikbud era Muhadjir Effendy silam, rupanya belum sepenuhnya cukup ampuh memundurkan pelajar dari hasrat demo, maka di sini perlu menggenapkan rengkuhan kita, rangkulan kita atas anak-anak kita atau para pelajar kita yang demo, maka kita mengajak orang tua dan guru berperan serta dalam mengawasi anak-anak. Hal itu demi mencegah anak-anak dimanfaatkan untuk melanggar hukum. Mencegah atau antisipasi pelajar dieksploitasi oleh kelompok-kelompok yang menginginkan kerusuhan pecah.