Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bahasa (Blog) dan Kekerasan

12 Oktober 2020   16:33 Diperbarui: 12 Oktober 2020   17:10 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ngeblog dan Bahasa ngeblog sejatinya bagian ekspresi kita. Keliaran kreatif kita bisa nampang di dunia ngeblog ini. Manakala kita mampu menunjukkan karya maupun prestasi apapun, tentu orang lain akan melihat, membaca dan menikmati sentuhan ide-ide segar kita.

Namun demikian tentu para penikmat akan memilih yang menghibur, ringan maupun konstruktif, dan tidak nyerempet-nyerempet bahaya (vivere pericoloso).

Konten ngeblog sesungguhnya tak jauh besa dengan konten-konten di media masa, media sosial dan media lain yang berbasis website maupun android. Saat konteks dan kontennya memberikan nilai tambah, tentu Ia akan dicari masyarakat.

Begitu juga sebaliknya, ketika tatanan Bahasa dan isi di dalamnya mengandung unsur SARA, meniupkan bara maupun api konflik, hoaks bahkan ujaran kebencian apalagi politik adu domba, maka secara pelahan tapi pasti, Ia akan ditinggalkan dan dikubur dalam-dalam oleh masyarakat sepanjang hidupnya.

Profesi Bloger di jaman ini, masih dilirik sebagaian masyarakat, meski masih di bawah posisi vlogger maupun youtuber.  Pada ketiga kota tersebut, kita bisa menemukan kebebasan. Namun kebebasan di sini itu mengandung 2 pemaknaan, yakni "bebas dari" atau "bebas untuk". 

Kadangkala kita menapaki keduanya, acap pula kita berada pada salah satu sisi. Namun demikian, tak kurang baiknya kita bisa menetapkan hati dengan memfokuskan pada agenda bebas untuk meski tetap dalam koridor positif dan norma hukum yang berlaku.

Kita bisa bedakan, mana yang lebih bernyawa kala kita hanya bisa bebasa dari kelaparan, lantas kita misalnya dipasok nasi bungkus sekarung, kemudian saat lain kita bisa melakukan aktivitas yang berfrasa bebas untuk, seperti bebas untuk menempuh pendidikan yang kemudian mampu menemukan solusi bagaimana caranya mengatasi lapar dan menciptakan kerja yang berdampak pada hidup mandiri dan layak. Sekurangnya, bebas untuk ini akan membawa kita berani untuk mengambil keputusan secara produktif.

Ngeblog dengan rimba Bahasa di dalamnya, memang patut dilakukan hati-hati dan waspada, karena dulu kita mengenal, "mulutmu harimaumu," kemudian era sekarang kita juga dekat dengan, "jemarimu adalah harimaumu." Karena, jika kita salah ucap dan salah tulis maka UU ITE bisa mengancam dan menyeret kita ke bui. Ngeri!!

Maka kemudian, meski kita menulis, berkespresi di blog kita sendiri, namun orang lain akan bisa membaca, menilai, menganalisis dan beropini tentang tulisan kita soal saripati konten-konten kita.

Di sinilah dalam keriangan ngeblog, kita harus ingat dan mempraktikkan wejangan edukatif dari Pujangga Rangga Warsita, "Amenangi jaman edan, ewuh aya ing pambudi, melu edan ora tahan, yen tan melu anglakoni, boya kaduman melik, kaliren wekasanipun, ndilalah kersaning Allah, begja begjane kang lali, luwih begja kang eling lan waspada."

Jadi mesti dipikirkan ulang, reminder, ajining diri gumantung wedeling lathi, harga diri kita bergantung dari apa yang kita ucapkan. Dengan demikian, kita akan menjadi apa yang kita pikirkan, kita akan menjadi apa yang kita tuliskan.

Maka kemudian, akan lebih baik, kala kita memenuhi ruang blog kita dengan beragam tulisan/Bahasa, lukisan, photo maupun video dengan konten-konten yang riuh dengan rasa damai, ramah dan toleran. Blog kita cermin kita, bahasa kita merepresentasi pribadi kita.

Sekali lagi, blog dengan rerupa kreasi dan inovasi kita juga bermain di 2 kaki, artinya bisa positif maupun sebaliknya, negatif. Hal tersebut sesungguhnya lebih bergantung bagimana itikad, tujuan dan orientasi kita membuat blog, mengisi blog.

Tanpa ketetapan atau keputusan itu tentu, blog kita hanya akan mudah lembek, dan bisa saja dipermainkan maupun dirasuki, diselipi bahkan ditunggapi para penumpang gelap (free rider).

Jika kemudian belakangan masif terjadi kekerasan, termasuk kekerasan dalam aksi demonstrasi, parlemen jalanan, Suka tak suka, disadari atau tak disadari, salah satu penyokong munculnya kekerasan itu dipicu lebih pada unggahan Bahasa pada blog-blog kita. Baik itu bahasa verbal dan non verbal.

Jelaslah bahwa kekerasan merupakan perbuatan yang merugikan orang lain. Kerugian itu berupa rusaknya barang orang lain, atau bahkan hilangnya nyawa orang lain.

Penyebab kekerasan pun beragam, salah satunya ialah adanya faktor bahasa. Penyebutan satu kata makian dalam dialek Bahasa daerah, misalnya, menunjukkan betapa bahasa terlihat dominan dalam aksi kekerasan.

Influencer

Kekerasan yang melibatkan unsur bahasa disebut kekerasan verbal. Jenis kekerasan ini, disadari atau tidak disadari, acap dimulai dari kelalaian kita saat ngeblog. Misalkan, kita melampiaskan amarah pada kawan, kelompok lain atau geng lain lewat Bahasa blog tertentu, maka dengan cepatnya memantik dan mengundang benih permusuhan, pertikaian maupun konflik dalam skala kecil hingga besar. Maka kita perlu saring sebelum sharing, harus bijak sebelum bertindak, mesti mampu mengendalikan jangan sampai dikendalikan gairah instan nan sesat.

Barangkali kita di rumah sebagai kepala keluarga dengan anak-anaknya, sebagai kakak berikut adik-adiknya, seorang pemimpin beserta anak buahnya, maka kemudian blog-blog kita, kita mesti pintar memilih diksi maupun bahasa yang tepat.

Karena sejuta mata sejuta otak akan melihat isi blog kita. Artinya kita harus menjadi teladan yang baik, membangun kontingen kesalehan dan harus dicatat kita perlu menghindari, jangan sampai akibat blog kita menjadi berperkara hukum.

Ibarat kata, kekerasan, baik verbal maupun non-verbal, mirip rantai. Jika rantai itu tidak diputus, kekerasan akan terus-menerus terjadi. Begitu pula dengan konten dan Bahasa di blog kita yang kadang kurang ajar, slengean, semau sendiri, sebaiknya terus kita evaluasi dan inovasi. 

Mungkin bagi kita baik tapi belum tentu baik bagi orang lain apalagi bagi Tuhan. Tak sedikit kasus geng anak muda di beberapa kota yang meresahkan warga, hanya dipantik oleh Bahasa di blog kita.

Bagi orang tua dan keluarga secara berkala barangkali kita perlu mengontrol blog-blog anak-anak kita, sekurangnya kita peduli peda mereka, jangan sampai blog-blog anak-anak kita yang bermula diharapkan mampu memekarkan minat dan hobi, malah berujung matinya empati. Sangat miris bukan?

Bagaimana mencegahnya? Penulis mengusulkan dua saran. Pertama, mari kita tumbuhkan (kembali) bahasa kasih sayang di antara kita. Bahasa itu universal, dapat digunakan oleh siapa pun. Orangtua menggunakan bahasa kasih kepada anak-anaknya, begitu pula sebaliknya. Hindarilah bahasa-bahasa yang menjurus ke arah kekerasan, dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah, hingga masyarakat.

Kedua, mari kita biasakan dengan sikap empati. Artinya jika kita diperlakukan demikian, apa yang akan kita perbuat dan lakukan. Itulah blog, inilah refleski kita hari ini. Blog seksi itu blog yang menginspirasi.

Maka, aktor dan spirit di dalamnya mesti terus bergerak menjelma ke dalam domain-domain yang menenteramkan. Menjadi influencer (duta) kebaikan, menjadi penantang masa depan dengan tetumpukan inovasi dan prestasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun