Mendikbud, Nadiem Makarim menjamin tidak akan ada penyederhanaan kurikulum hingga tahun 2022. Artinya, mata pelajaran sejarah tetap aman, sekurangnya hingga tahun tersebut. Kini, bukan saatnya kita meributkan soal mapel sejara, tapi lebih pada bagaimana mengajak para siswa itu kemudian tertarik pada mapel sejarah.
Ini sebetulnya yang mesti menjadi pemikiran bangsa ini. Sekurangnya para guru sejarah, dosen sejarah, sejarawan dan pihak-pihak yang care atas rumah besar yang bernama sejarah. Barangkali selama ini pelajaran atau program studi sejarah dipandang sebelah mata.
Harus kita akui, kita mempelajari sejarah bangsa sejak bangku SD hingga SMA, itu bukan waktu yang pendek. Namun, sepanjang itu pula belum sepenuhnya anak-anak kita memahami dan memaknai sejarah secara baik apalagi merawat bahkan mengembangkannya
Diakui atau tidak diakui, sejarah adalah cara kita mencintai negeri, cara kita merasa memiliki republik ini, Dan, sejarah adalah bagian nasionalisme atau bela negara kita. Meminjam istilah Emha Ainun Nadjib, kita tentu tidak ingin nasionalisme kita menjadi sekadar "nasionalisme burung".
Ujar Emha, "Nasionalisme bukanlah burung yang dibikinkan sangkar oleh tuannya, yang diulur naik ke puncak tiang setiap pagi, lalu diturunkan dan dimasukkan ke kandang besar lagi pada sore harinya."Â
Maka kemudian, nasionalisme tidak boleh naik-turun alias moody based. Nasionalisme juga tidak boleh hadir hanya pada waktu-waktu tertentu. Nasionalisme harus senantiasa terjaga tinggi sepanjang usia bangsa.
Titus Livius, seorang sejarawan termashur Romawi, mengatakan bahwa mempelajari sejarah merupakan penawar terbaik untuk penyakit pikiran. Ketika belajar melalui sejarah, manusia akan mendapatkan beragam catatan tak terhingga mengenai pengalaman manusia yang diperkenalkan secara tersusun untuk dipahami dan dimaknai.
Di dalam catatan sejarah, manusia dapat melihat dirinya sendiri dan negerinya, baik sebagai cerita maupun sebagai suatu peringatan. Melalui sejarah, manusia dapat mencari sesuatu yang baik untuk dijadikan teladan dan mengambil nilai-nilai luhur untuk masa mendatang.
Tak sedikit influencer dunia yang membawa sejarah ke dalam orasi berkelasnya. Mulai dari sejarawan itu sendiri, filsuf, politikus, dan lain sebagainya. Di Indonesia, ada ungkapan "Jas Merah" yang merupakan julukan bagi judul pidato Presiden Sukarno pada peringatan ulang tahun proklamasi kemerdekaan yang ke-21 di tahun 1966. Pidatonya berjudul Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah! atau Never Leave History! dalam versi English.
Kemudian, kita menuju Sjahrir yang menuliskan sebuah renungan tentang pentingnya sejarah dalam keberhasilan misi diplomatiknya ke PBB pada Agustus 1947 itu: "Hanja orang jang telah sanggoep menindjaoe ke belakang dengan hitoengan abad, dengan lain kata, jang memang berpengertian tentang sedjarah dan masjarakat, akan dapat berhadapan dengan soeasana sedjarah jang beroepa revoloesi dengan pengertian serta kepastian tentang arah dan toedjoean sedjarah."
Dalam konteks sederhana sekarang, coba kita sorongkan kuesioner kepada siswa atau mahasiswa kita tentang simbol-simbol pola batik yaitu, nama, makna, waktu, peruntukan pengguna, saat yang tepat dalam pemakaian pola batik. Barangkali hasil atau pemahaman sejarahnya akan berbeda antara kaum muda dan generasi 40-50 tahun.