Wabah corona yang melata, pandemi covid-19 yang terus menguji telah membuat semua lini terdampak, ekonomi, pendidikan, olah raga, sosial budaya, dll. Gegara pandemi, acap kita temukan sedikit perbedaan pendapat, friksi kecil, tindak kekerasan, rapuhnya sikap mental beberapa kalangan maupun masih ada pihak-pihak yang mengabaikan bahkan melawan protokol kesehatan. Ada saja yang memaksakan kehendak, merasa paling benar, mengklaim paling berjasa maupun sok paling baik. Semua sikap dan tindakan di atas pun kerap memicu pertengkaran, pertikaian, perselisihan antar warga, diantara saudara.
Jika kita terus menerus merawat perilaku dmeikian, maka kemudian tidaklah ada bedanya kita dengan para aktor tersebut yang justru hanya memperontonkan kelemahannya, kontraproduktif dan cenderung hanya mengedepankan okol atau otot ketimbang akal sehat. Keterpurukan  tersebut yang pasti hanya akan merugikan diri kita sendiri, karena harus kehilangan energi, emosi, waktu, tenaga juga kesempatan lain yang lenyap kala kita hanya sibuk menyalahkan atau menuding kesalahan orang atau pihak lain.
Gemes dan amat disayangkan ketika kita hanya menuruti hawa nafsu, tanpa menimbang dampak yang terbit, risiko yang timbul bahkan kerugian immaterial apalagi harus menanggung beban moral yang terlampau tak sedikit. Mengapa jika kita berkata-kata atau berbuat buruk dijamin bakal beroleh penolakan, perlawanan, mengapa juga kita tak berubah menjadi lebih baik, betutur baik dan andhap asor, sehingga menenteramkan semua pihak. Mengapa kita hanya memelihara kejelekan, prasangka buruk, curiga dan suka menebar hoak dan menyebarkan informasi yang bisa berakibat malapetaka, sepertui tawuran, bullying, aksi underground juga tindakan-tindakan lain yang maladjusted.
Di tengah kusutnya hidup atas pandemi covid-19 ini, di musim paceklik ini, karena nyaris semua hidup rakyat dibantu negara, negara hadir mengurai kurusnya hati dan jiwa, kelamnya pekerjaan dan pendapatan, redupnya pasar produk karena sulitnya mencari uang atau risaunya para orangtua yang kebahisan dana untuk membeli kuota internet bagi anak-anaknya yang   sedang belajar daring, dll.
Unsur bahasa, ungkapan maupun diksi yang kita gelar secara fisik maupun di ruang virtual pun secara tak langsung juga mempengaruhi panjang umurnya sebuah kedamaian. Betap tidak, andai kita sering berucap dengan kata-kata kasar bahkan kotor atau apriori kepada orang lain, secara cepat atau lambat akan merimbas pada diri kita juga. Jika setiap hari orang lain direcoki, diteror dan direndahkan tak menutup kemungkinan akan berbuntut kekerasan atau konflik. Hal ini tentu sangat jauh dari spirit dan nilai perdamaian.
Begitu juga lidah kita mulut kita bahkan jemari kita sekarang ini sekurangnya juga bisa menjunjukkan jati diri kita sebenarnya. Ajining diri gumantung ono kedaling lati, harga diri bergantung apa yang dita ucapkan, lisankan. Maka kemudian, saat kita tak bisa tepatnya tak mampu mengelola kata-kata, bersiap saja mendapatkan musuh baru,. Serangan balik, blunder dan senjata makan tuan.
Bahasa yang berlabel predikat sebutan binatang kerap pula dipakai dengan tidak pada tempatnya. Hanya gegera disebut atau dihalau dengan ejekan, hinaan, cercaan, makian, atau dalam Bahasa jawa pisuhan, maka secara tak langsung juga akan menyulut api ketidaksenangan yang bermuara pada bentrokan psikologsi bahkan phisik.
Acap bentuk-bentuk rendahnya mutu manusia itu tergelar saat semua pihak tak mampu mengendalikan diri atas emosi dan hanya disergap kebencian, dendam kesumat maupun kepuasan istan yang membabi buta. Sudah babi buta lagi. Ini yang sangat kita sayangkan.
Tawuran pelajar, bentrok mahasiswa, konflik antar kelompok, pengeroyokan, pembunuhan, kekerasan baik personal maupun komunal bertebaran, maka sudah saatnya itu semua diakhiri dan harus begeser ke ruang-ruang damai, penuh kesejukan dan  berwarna-warni empati. Rasa, sikap dan aksi soaial kemanusiaan pun di saat pandemi seperti kini mesti diketengahkan, dan ia akan lebih bermakna sekaligus bernyawa jika harus berhadapan dengan cemoohan atau bentuk perendahan martabat lainnya.
Untuk itu, sekurangnya kita bisa belajar soal perdamaian, kerukunan, kegotong royongan dari desa. Selama pandemi covid-19 ini, bukan bermaksud mengecilkan kebaikan orang kota, tapi sejatinya warga desa jauh lebih tenang, lebih siap dan jauh lebih antisipasi dan berimpresi lebih taat menegakkan disiplin protokol kesehatan.
Kita bisa lihat, berapa jumlah pelanggar operasi yustisi pencegahan covid-19 yang digelar setiap haru oleh petugas kesehatan, penegak perda maupun para penegak hokum yang harus memberi teguran, peringatan hingga hukuman atau denda. Tak sedikit di media layar kaca, memperlihatkan orang-orang kota, bahkan orang terpelajar atau berpendidikan tinggi yang harus melakukan aktivitas sosial, seperti membersihkan sungai, menyapu jalan, memunguti sampah, dll.Â