Sebentar lagi kita bakal menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak Tahun 2020. Perhelatan ini menjadi sukacita atau keriangan politik bagi seluruh masyarakat. Momentum coblosan pilkada nampaknya masih dalam musim perjuangan menghadapi dan mengatasi pandemi covid-19.
Tak kota tak desa selain masih perlu intervensi pemerintah berupa bantuan stimulan terdampak covid-19, keduanya juga masih butuh kucuran anggaran kesehatan, ekonomi, sosial, pendidikan, dll untuk keluar dari belenggu kemiskinan dan penggangguran juga kesenjangan. Menjelang pilkada tahun ini, nampaknya desa penting dipasok lebih banyak lagi soal gizi politik.
Gizi politik berupa pasokan aliran informasi yang utuh atas gelaran pemilu, praktik berdemokrasi yang sehat dan fair, hak dan kewajiban warga negara, di samping pentingnya keteladanan dari para politikus dan elit lain dalam menyikapi atas PR bangsa, bagaimana menjadi desa yang mandiri, dewasa dan mengakar.
Jika sekarang baru mulai memberi perhatian dan memikirkan tentang desa dengan segenap problemanya, itu tidak salah. Akan lebih merasa bersalah ketika seumur hidup kita tak pernah memberikan kontribusi konstruktif bagi pedesaan.
Tak keliru juga kala baru di tahun ini hadir bahkan berhamburan melakukan pendekatan dan merasa berkewajiban melunasi hutang politiknya kepada masyarakat desa. Seluruh pihak hadir melakukan inventarisasi poblem, mendiskusikan, brainstorming bersama menggali akar permasalahan desa.
Juga menawarkan alternatif pemecahan hingga memberi solusi meskipun bukan panasea (obat mujarab) tapi sedikitnya mampu mentransformasi sosiokultur warga : dari yang malas ke rajin, semula individu menjadi gotong royong dan dari berganting menjadi independen.
 Masyarakat yang awalnya konsumtif bergeser ke produktif maupun berangkat buta IT menjadi tidak gaptek bahkan jika bermula apatis menuju partisipatif. Juga yang sejak awal golput menjadi masyarakat yang sadar dan berpartisipasi penuh memberikan suara pada pesta demokrasi. Atau sekurangnya, warga dengan kerelaannya hadir dalam berbagai forum musyawarah desa, karena hal sederhana itu akan turut menentukan nasib masa depan mereka.
Memang, bantuan dana maupun fisik penting, tapi sekali lagi gizi politik juga tidak kalah penting untuk menghela desa keluar dari kecemasannya. Cemas melakukan kesalahan, takut mengekspresikan diri, maupun ragu-ragu dalam memberikan jawaban kepada publik atas kekurangan desa selama ini. Atau dalam konteks up date, yakni desa masih takut jika harus berperkara hukum ketika meng-SPJ-kan penggunanan dana desa karena kekurangpemahaman Kades dan perangkatnya.
Desa menjadi pangkal harapan pasokan gizi politik ini atas dua pertimbangan. Pertama, saat perumusan gizi politik bisa merujuk kepada kondisi eksisting desa hari ini meski tentu saja tak sama persis. Sejak zaman kolonial, kemerdekaan, reformasi, desa menjadi basis merumuskan peta politik perjuangan dan pembangunan sehingga desa sekarang pun tetap layak digelontor gizi politik yang tentu saja tak hanya berhenti menjelang atau menghadapi tahun politik.
Kedua, untuk mengantisipasi dan dalam rangka menaikkan angka partisipasi politik orang desa dalam pesta serentak demokrasi, maka aliran gizi politik ke titik titik pedesaan sudah seharusnya bukan menjadi komoditas mahal, harapannya jangkar moral politik pedesaan pun semakin matang dan tak rentan dijual belikan.
Untuk itu, tak kurang layaknya untuk merawat kondusifitas dan kesadaran politik masyarakat desa, dalam hal ini pemerintah desa maupun pemda perlu menerbitkan aturan-aturan baru yang mampu membangun kolaborasi dan kerukunan warga desa, sehingga nihil gejolak masyarakat.