Pandemi covid-19 secara nyata membuat semua lini terasa lelah. Ya sector kesehatan, ekonomi, lingkungan, sosial budaya, dll. Khusus segi ekonomi meski berat, tapi kita penting menumbuhkan semangat dan optimism baru sehingga tak luruh di tengah berbagai belitan.Â
Kita belajar dari orang-orang desa, karena masyarakat desa barangkali kerap mengalami sulitnya hidup. Nampaknya tak neko-neko juga mencermati pola atau strategi untuk bisa bertahan  di tempa ringkihnya ekonomi keluarga.
Masyarakat desa, barangkali lebih banyak sedulur kita yang berprofesi sebagai petani kecil maupun buruh tani. Bisa kita bayangkan bagaimana pendapatan mereka, bagaimana menyikapi gagal panen atau puso, atau kala pertaniannya di serang hama penyakit, belum lagi ditindih dengan permainan tengkulak yang membeli produk pertaniannya dengan harga terlampau rendah.
Atau kita bisa berempati dengan para perajin UMKM dengan usaha kecilnya, usaha rumah tangganya dengan tenaga kerja anggota keluarga maupun kerabatnya. Tapi petani dan UMKM desa itu sepertinya tak pernah sambat, menggerutu atas penatnya ekonomi mereka. Sambat tidak menyelesaikan masalah, menggerutu juga tidak merampungkan problemanya.
Artinya apa, suka duka mereka lakoni dengan percaya diri, tetap berusaha dan selalu bersemangat, bahwa kehidupan akan lebih baik kala tak pernah mengabaikan Sang Penciptanya. Ini bagian modal mereka tetap survive.Â
Selain itu, kita pun bisa belajar dari mereka dengan melakukan hal-hal yang mungkin dimata orang lain hanya menjadi debu, kecil dan tidak berharga. Tapi lewat keuletan, kerja keras dan membangun jejaring ya meski kecil-kecilan juga, nyatanya mereka selalu mampu melampaui beragam ujian ekonomi, khususnya.
Tengoklah tangan-tangan masyarakat desa, di tengah terjalnya pandemi, mereka tetap bertanam selain di lahan pertanian. Mereka juga cakap membaca peluang usaha. Sebut saja sekarang, di pedesaan tak sedikit kita menjumpai lahan-lahan sempit di tanah pekarangan maupun model hidroponik dengan tetanaman yang bernilai ekonomi. Misalnya sayuran, buah, beragam jenis bunga bahkan yang mencoba beternak ikan melalui media ember, pot, dll. Mereka bertanggungjawab atas keberlangsungan keluarganya, mulai kesehatan, pendidikan, ekonominya juga relasi sosialnya.
Bahkan kala orang-orang kesulitan mendapatkan makanan atau saat harga kebutuhan bahan pokok menaik apalagi tak sedikit yang tertimpa PHK, warga desa jauh lebih relaks menghadapi dan mengatasinya ketimbang orang kota. Masyarakat desa masih dan mau memanfaatkan makanan lokal selain beras untuk meredam kebutuhan tubuhnya. Mereka acap memanfaatkan umbi-umbian yang ada.
Kita paham, ke depan persoalan pangan tidak dapat diremehkan. Cepat atau lambat kita akan dihadapkan pada masalah pemenuhan pangan yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat, karena laju pertumbuhan penduduk di Indonesia yang semakin cepat. Jika kita mau dan rela, kita bisa belajar dari desa-desa kita yang tersebar di rumah besar Indonesia. Tak ada rotan akar pun jadi, tak ada atau beras mahal, umbi-umbian pun sanggup menyelamatkan kita dari resesi di tengah pandemi.
Misalnya saja, palawija, umbi-umbian singkong, ubi jalar, garut, ganyong, uwi, gembili, talas, sukun, waluh dan bengkoang yang keberadaannya cukup melimpah dan mempunyai potensi dikembangkan sebagai pangan pokok maupun sebagai pangan fungsional. Di samping itu, menurut penelitian, umbi-umbian terbukti berpotensi sebagai sumber prebiotik untuk meningkatkan saluran cerna dan sistem imun. Tetapi masih banyak juga masyarakat yang beranggapan bahwa umbi-umbian sebagai makanan kelas dua. Ini keliru dan perlu diluruskan.
Kita harus rubah mindset ini, konsumsi umbi-umbian dan pangan lokal lain harus digalakkan. Harapannya, umbi-umbian dan pangan lokal tersebut dapat menjadi pangan pilihan yang bernilai tinggi dengan berbagai aplikasi, bukan sekedar sebagai alternatif pengganti. Misalnya sebagai bahan utama maupun bahan pendukung untuk produk-produk bakery, snack, biskuit, mie, bakso, bubur, sosis, nugget, serta sebagai bahan penyalut, pengental, maupun pengisi.