Bicara insentif selalu menarik. Sekurangnya selalu dinanti dan diharapkan para ASN, petani, UMKM maupun karyawan juga perintis usaha. Uang THR, kenaikan gaji berkala, gaji ke-13, beasiswa, percepatan kenaikan pangkat, dll. adalah bagian insentif bagi ASN agar lebih giat bekerja dan berkinerja.
Kemudian bagi petani, insentif bisa berupa pupuk subsidi, bantuan saprodi, kenaikan harga beras atau digitalisasi pasar gratis, dll dan menjangkau kawan-kawan UMKM, insentif bisa diwujudkan dengan pemberian kredit lunak, kemudahan perijinan dan penghapusan pajak, aplikasi on line gratis adalah sebagaian insentif yang ditunggu mereka.Â
Begitu juga insentif menjadi sesuatu yang paling berharga bagi karyawan swasta, apalagi penghasilannya kurang dari Rp 5 juta per bulan. Demikian juga khusus bagi kalangan perintis usaha, insentif menjadi penenang atas debutan usaha yang tentu saja belum stabil pasar dan produksinya.
Pada fase pertama ini, pemerintah membatasi diri dengan menurunkan insentif kepada para karyawan sebesar Rp 2,4 juta atau Rp 600 ribu per bulan, mulai September hingga ahir tahun 2020.Â
Kebijakan ini patut disambut gembira terutama para pekerja di perusahaan swasta dan sudah terdaftar pada BPJS Ketenagakerjaan. Uluran pemerintah ini akan menjadi pemompa semangat bagi karyawan di tengah kusamnya serangan pandemi covid-19 ini.
Bagi perintis usaha, sekurangnya juga insentif ini bakal mampu memperpanjang umur usaha yang di rintis, atau sejelek-jeleknya bisa untuk tambahan transportasi dan/atau operasional.
Memang, kalau dibilang semua bantuan selalu disebut kurang, tapi tentu kita harus bisa maklum atas keterbatasan anggaran negara dalam menyelamatkan warga dan usahanya.Â
Untuk itu, bukan besarannya tapi terpenting dana insentif itu nanti tepat sasaran, memastikan sampai di tangan karyawan secara utuh. Maka, pendataannya di sini harus valid atau akurat.Â
Jangan sampai terjadi manipulasi data apalgi distribusinya. Seluruh pemangku kepentingan bersama masyarakat wajib mengontrol atas proses tersebut secara gotong royong.
Barangkali, di musim covid-19 ini masyarakat bisa maklum atas pendapatan yang diterima juga kemampuan perusahaan menghidupinya. Di masa awal covid, sebagian warga mengaku takut, tapi yang membuat miris sekarang lebih takut terkena PHK atau dirumahkan maupun perusahaannya tutup.Â
Nyatanya setelah sebagian karyawan teimpas PHK yang berpesangon maupun tanpa pesangon, atau karyawan yang bekerja atas model shifting, misalnya kerja bergantung kala perusahaan memanggil atau bergiliran dua minggi sekali atau bahkan sebulan 3-4 kali dan tragisnya perusahaan hanya mampu membayar mereka lewat perhitungan hari atau jam masuk kerja.