Pandemi covid-19 sekurangnya menjadi momentum penting bagi bangsa Indonesia untuk membangkitkan semangat dan partisipasi perempuan di pedesaan, khususnya perempuan yang putus sekolah, miskin, single parent, buta aksara, bahkan renta.
Demikian juga, tak dipungkiri, tak sedikit perempuan pedesaan yang menganggur atau sekadar buruh serabutan maupun bekerja di sektor domestik, ekonomi subsisten. Artinya, income yang diperoleh hanya cukup untuk kebutuhan makan belaka. Padahal orang hidup tak sekadar makan, tapi kebutuhan lain yang terus mendesak.
Sebut saja, biaya pendidikan anaknya, biaya rumah sakit, anggaran susu, bayar listrik dan atau kewajiban membayar iuran BPJS, dll. Belum lagi ditimpuk biaya sosial lain yang cukup menggemaskan, seperti jagong atau undangan.
Kemurungan saat pandemi kini kita harapkan ada kepedulian pemerintah desa untuk lebih memikirkan, memperhatikan dan memberdayakan kaum perempuan di wilayahnya.Â
Mengajak dan menghadirkan atau melibatkan perempuan dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa (musrenbangdes), sehingga kelompok perempuan ini mampu menuangkan usulan program kegiatan yang relevan dan menjadi prioritas pedesaan.Â
Sekurangnya dalam penanganan covid-19, seperti di lapangan banyak praktik jogo tonggo dengan membagi sembako pada warga miskin dana tau pager mangkok pada warga yang sedang menjalani isolasi covid-19, dll.
Bagi kaum perempuan yang kebetulan tidak punya pekerjaan tetap atau temporer bahkan pocokan, sebetulnya selain aktivitas di atas, bisa dilibatkan pada program diklat usaha ekonomi produktif yang relevan dengan potensi desa.Â
Ketika desa pantai, misalnya yang kaya dengan mangrove, maka komoditas ini selain berjibaku sebagai penjaga abrasi laut, dapat didayagunakan menjadi produk yang bernilai ekonomi tinggi : sebut saja kue, sirup, alat peraga edukatif, makanan kering, dll.
Keterlibatan perempuan dalam program seperti itu, yang tak banyak menyita waktu dan dapat disambil mengerjakan tugas domestik, bisa menaikkan rasa memiliki atas pembangunan terhadap desanya juga pengawasan dalam proses pembangunan lain, seperti infrastruktur.Â
Jadi, posisi perempuan di sini strategis, karena mereka bisa merangkap sebagai pekerja sekaligus pengawas organik atas potensi penyelewengan dana desa atau pembangunan umumnya.
Semangat perempuan, setidaknya semangat perubahan. Hijrah menuju kearah yang lebih baik, mengubah paradigma, dari perempuan yang malas menjadi giat, dari sendiri menjadi berasama-sama dan dari bergantung ke mandiri atau berdikari, dari konsumtif menjadi produktif, dari semau gue menjadi peduli dan care, sehingga perempuan ini punya daya tawar tinggi.Â