Belum reda bahkan tuntasnya kasus  plagiarism di dunia perguruan tinggi, selalu membuncahkan diskusi hangat. Ingatan kita masih hangat merekam seorang Dwi Hartanto sang manipulis prestasi akademik dan mantan rektor UNJ, Djaali.
Menyusul dugaan sejumlah penyelewenangan program akademik, termasuk kasus plagiarisme di tingkat doktoral yang melibatkan lulusan berstatus pejabat negara, juga nepotisme dan otoriter, semakin membuat daftar kelam dunia akademik kita. Pelecehan dunia kampus atau pelacuran intelektual yang pelakunya justru dari kalangan intektual sendiri semakin masif.Â
Dalam kasus di atas, pengoyak tradisi intelektual ini sah saja membela diri dan itu hak mereka. Namun, plagiarisme tetap plagiarisme. Hampir setiap tahun ada saja ulah yang mencoreng dunia pendidikan di tanah air ini. Masih ingat kasus perjokian Wabup Cilacap Tohirin Bahri pada ujian semester di Unsoed (2003),.Kemudian hanya untuk menggaet tunjangan sertifikasi dari pemerintah, dua guru di Pamekasan, Jawa Timur, menggunakan ijazah palsu lulusan S-1 (2013), maupun sejumlah 300 guru memalsukan sertifikat dan ijazah palsu di Tambora, Jakarta untuk disekolahkan di Bank (2017). Belakangan masih belum redanya kasus dugaan plagiarisme Rektor salah satu PTN di republik ini.
Bentuk kejahatan dugaan atau tuduhan plagiarisme sebelumnya, yakni pada koran Jakarta Post yang dilakukan oleh Agung Banyu Perwita (guru besar Unpar), dan plagiarisme yang dilakukan oleh Zuliansyah dari ITB. Bahkan Menristekdikti, Muhammad Nasir (2016) pernah menuturkan kasus pemilihan rektor bermasalah pernah terjadi di Universitas Sumatera Utara, Universitas Negeri Manado, dan Universitas Halu Oleo. Itu semua barangkali masuk dalam kategori pelecehan akademik.
Regulasi tentang pendidikan tinggi yang kita punya yang menyatakan Menteri memiliki hak suara sekian persen dalam pemilihan rektor barangkali juga mengiur atas problema ini. Universitas dengan semua proses internal sudah memilih sejumlah kandidat hingga tiga orang. Yang dipilih internal universitas dengan suara terbanyak belum tentu menjadi rektor karena ada suara dari menteri itu.
Kini, untuk penentuan rektor akan diambil langsung oleh bapak Presiden, tidak boleh Menristek Dikti. Menurutnya, supaya dalam upaya menentukan rektor yang sekian persen kewenangan Menristek Dikti itu hukumnya wajib konsultasi dengan Presiden. Inilah dibangun dalam upaya wujudkan kebersamaan.
Merebaknya praktik dagang atau jual beli pada dunia pendidikan ini menjadi preseden buruk bagi budaya akademik yang selalu kita junjung tinggi. Semestinya sosok-sosok kampus, kaum intelek ini sadar ketika jalan kotor yang ditempuh, bukan saja akan berakibat pada melorotnya kepercayaan sekaligus partisipasi masyarakat kepada dunia pendidikan tinggi.
Nampaknya deklarasi anti plagiat dan anti mencontek (2011) hanya isapan jempol belaka karena belum membumi dalam diri civitas akademika kampus. Jalan pikiran kita bercabang, mungkinkah jalan plagiarisme itu memang menjadi tujuan atau barangkali apa sesungguhnya tujuan mengabdikan diri di kampus.
 Sebetulnya payung hukum kita untuk mengaborsi praktik sesat plagiarisme sudah jelas, yakni Permendik 17/2010 tentang pencegahan dan penanggulangan plagiat di perguruan tinggi mengatur tujuh sanksi untuk mahasiswa yang menjiplak karya ilmiah orang lain. Mereka yang telah lulus dari satu program studi dan terbukti plagiat diancam pembatalan ijazah.
Sementara sanksi lainnya diberlakukan untuk mahasiswa aktif, antara lain teguran, peringatan tertulis, dan pemberhentian secara tidak hormat. Indoesia ini memang luar biasa, setiap regulasi yang ada dipastikan orang selalu saja pintar membuat celah untuk menerabas rambu-rambu itu demi mengeruk uang, dan sebagainya.
Untuk itulah, kalangan kampus yang intelek dan sarat dengan berbagai gelar akademik maupun kenyang dengan budaya akademik sudah semestinya memahami dan mempraktikkan menjadi kampus yang menginspirasi, artinya mendorong masyarakat untuk menyontoh perilaku kaum kampus, tidak korupsi, gratifikasi dan pungli.