Juga menentang keras tradisi palgiarisme, jual beli gelar, ijazah maupun uang sogok mahasiswa baru, dll. Kita harus pinggirkan budaya instan. Di samping itu, pelaku atau aktornya, baik yang menerima gelar maupun yang memberi harus diberi sanksi sehingga martabat kampus pulih kembali.
Sejak Dalam rahim
Hormat dan bangga pada Menteri Pertahanan Jerman Karl-Theodor zu Guttenberg mengundurkan diri setelah dia dilaporkan menulis tesis doktor yang sebagian besar adalah hasil contekan pada tahun 2006, Â kemudian Presiden Hongaria, Pal Schmitt yang meletakkan jabatan tahun 2012 setelah gelar doktornya yang diraihnya tahun 1992 dibatalkan pasca temuan bahwa terbukti ada unsur plagiarisme sebagian dari disertasinya setebal 200 halaman.Â
Demikian juga langkah Anggito Abimanyu, 2014 yang mengundurkan diri dari UGM setelah dituduh plagiaris. Ini menjadi lesson learn bagi kita semua atas pentingnya nilai prinsip kejujuran, kokohnya kebenaran tanpa kebohongan.
Beberapa penyokong maraknya iklim plagiarisme, yakni budaya instan kita yang pengin cepat lulus, naik pangkat dan prestise (dalam bahasa jawa : nggege mongso), juga rendahnya literasi karya ilmiah, khususnya kemampuan menulis (tidak percaya diri) maupun jebloknya integritas di kalangan akademisi, masyarakat dan barangkali sebagian elit kita.
Plagiarisme juga dipicu oleh terbatasnya diseminasi soal plagiarisme, permisifnya masyarakat dan kurangnya kontrol dosen pembimbing. begitu pula, problema sangsi bagi aktor plagiarisme belum cukup efektif menghentikan hasrat materialistik plagiaris. Â
Plagiarisme tidak sebatas pada dunia akademik saja. Ada juga dalam dunia seni dan budaya, sastra juga teknologi. Menjadi mimpi kita adanya aplikasi yang terkoneksi dengan seluruh kampus negeri dan partikelir maupun luar negeri yang mampu mendeteksi sisi plagiarisme sekecil apapun. Mesin pendeteksi plagiarisme nampaknya juga belum cukup menyantuni moral akademisi.
Namun demikian, terpenting kita turut mencegah praktik tak terpuji oleh aktor intelektual dalam plagiarisme ini sejak dalam rahim, karena plagiarisme sama halnya praktik korupsi dini.Â
Plagiarisme identik sebagai tindakan mengambil ide orang lain tanpa menyebut sumbernya. Hal ini tidak jauh berbeda dengan korupsi yang mengambil jatah orang lain (hanya) memperkaya diri atau kelompoknya.
Mari kita dorong dan gerakkan kembali kolaborasi segiempat ABGC-academician, bussiness, government dan community, meringkus kejahatan intelektual, memberangus plagiarisme di tengah gemerlap pendidikan karakter yang disorongkan pemerintah.
        Â