Hanya berselang sehari setelah Pak Jokowi menginstruksikan kepada aparat hukum agar tidak pandang bulu apabila menemukan pihak yang memiliki niat buruk menggunakan uang negara. Aspek pencegahan harus lebih dikedepankan. Jangan menunggu sampai ada masalah. Kalau ada potensi masalah segera ingatkan, tapi kalau sudah ada niat buruk untuk korupsi, ada mens rea-nya (niat jahat), ya harus ditindak. Silakan digigit," tegas Jokowi di Istana Negara, Rabu (1/7/2020).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Bupati Kutai Timur (Kutim), Ismunandar dalam OTT dan Ketua DPRD, Encek Unguria, Kamis 2 Juli 2020 malam dan menyeret sejumlah pejabat setempat. KPK berhasil menyita Rp170 juta dan buku tabungan Rp4,8 milyar (Liputan6.com, 4/7/2020), setelah sebelumnya lembaga anti rasuah berhasil meng-OTT Wahyu Seiawan-Masiku dan rektor UNJ.
Peringatan dari Presiden dan OTT KPK menjadi warning semua pihak atas Praktik kelam mencuri uang rakyat dan merupakan perilaku yang sudah kehilangan sense of crisinya di tengah pandemi covid-19 ini.
Penangkapan OTT Bupati Kutim dan isteri bukan yang pertama kali, karena lebih dulu pernah meringkus pasangan Romi dan Juli di simpang jalan ini sejak kurun 2012-2020, diantaranya pasangan Mantan Bendum Demokrat M Nazaruddin dan Neneng Sri Wahyuni (April 2012), Mantan Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho dan Evy Susanti (Juli 2015), Mantan Wali Kota Cimahi Atty Suharti dan Itoc Tochija (Desember 2016), Mantan Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti dan Lily Martiani Maddari (Juni 2017), Eks Bupati Bengkulu Selatan Dirwan Mahmud dan istrinya, Hendrati (Mei 2018), dll.
Para koruptor itu memang aneh, sudah banyak aktor korupsi yang tertangkap dan dijebloskan ke penjara, tak sedikit regulasi yang digelar untuk memberantas korupsi, berjibun pula agenda seminar, workshop, simulasi maupun diklat bahkan penandatangan integritas, dll, nampaknya tak cukup membuat jera mereka. Pertaubatan mereka pun hanya lamis, taubat tomat.
Rata-rata pelaku korupsi melah mereka yang berpendidikan tinggi. KPK menyebut koruptor paling banyak bergelar master, disusul sarjana, lalu doktor. Justru mereka yang berpendidikan SMP dan SMA terjerat korupsi lantaran hanya turut serta. Bukan sebagai pelaku utama (merdeka.com, 15/5/2019). Mereka itu jelas-jelas menantang aparat. Melawan KPK sama halnya melawan rakyat. Rupanya mereka juga tak takut ancaman hukuman mati yang secara gambling dipampang pada UU 19/2019 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyebut hukuman mati untuk korupsi bencana alam.
Kasus korupsi Bupati Kutim membawa kita menziarahi kasus bencana tsunami Nias (2011), korupsi pembangunan SPAM di daerah bencana Donggala (2018), pungli bencana alam gempa bumi di Mataram (2019), korupsi bantuan rehab masjid terdampak gempa di NTB (2019). Namun, dari ragam kasus korupsi masa pandemi sebelumnya, di negeri ini belum memiliki track record menjatuhkan vonis pidana mati bagi koruptor yang terbukti dan putusannya telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Hilangnya kepercayaan publik pada pelaku korupsi dan rompi orange rupanya tak juga memutus urat malu mereka maupun terhadap orang-orang yang berniat dan beraksi lewat praktik korupsi. Falsafah kehidupan dan nilai keutamaan dari kitab, kuliah, sekolah dan atau tempat ibadah serasa lalu bersama angina. Gone with the wind.Â
Kebetulan atau tidak, garis dinasti rupanya turut menyokong bahkan memuluskan praktik kotor itu. Kasus korupsi ratu Atut Banten menjadi bad practice atas praktik korupsi dinasti. Mereka terlampau bersemangat memanggul harta yang bukan haknya di atas puing kurusnya jiwa dan keringnya nilai profetik.
Selain ketamakannya pada duniawi, harta benda. Orientasi hidupnya hanyalah uang dan uang. Lain tidak. Koruptor lebih bergaya borjuis, parlente dan sok Samaritan atau berlagak pilantopis pada tetanga dan warga lainnya. Pundi-pundi sosialnya acap dibuka lebar untuk menutupi delinquency-nya.
Teladan